Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Feature Tajam oleh Redaksi Haluan Berita Rakyat
Oleh: Mohamad Rohman
Jakarta, 22 Mei 2025 — Ketika ribuan pengemudi ojek online (ojol) menepi dari aspal dan menonaktifkan aplikasi, bukan hanya jalanan yang senyap. Ekonomi digital Indonesia pun ikut lesu. Aksi unjuk rasa serentak pada 20 Mei 2025 menyisakan jejak kerugian yang tak main-main: Rp188 miliar melayang hanya dalam sehari, menurut estimasi Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS).
Namun lebih dari itu, demo ini adalah potret buram dari ketimpangan relasi antara raksasa teknologi dan mereka yang disebut sebagai “mitra”, namun hidupnya penuh ketidakpastian.
Menurut Muhammad Anwar, peneliti IDEAS, nilai transaksi harian sektor ride hailing mencapai Rp375,89 miliar. Ketika aksi off-bid masif dilakukan oleh para pengemudi, perputaran uang terpangkas separuh. Tapi angka itu belum termasuk efek domino ke empat sektor lainnya: UMKM kuliner, masyarakat pengguna transportasi harian, logistik mikro, dan reputasi platform digital.
“Warung kecil yang bergantung pada GoFood atau GrabFood kehilangan omzet harian, sementara pelajar dan buruh harian kesulitan menjangkau tempat kerja atau sekolah,” ujar Anwar. “Ini bukan sekadar protes. Ini peringatan bahwa ekonomi digital tak bisa terus berjalan di atas penderitaan tenaga kerjanya.”
Di balik rompi hijau dan helm berstiker logo aplikasi, para driver ojol menjalani rutinitas penuh risiko. Mereka tidak punya jaminan kesehatan, tidak mendapat upah minimum, dan ketika mogok, tak satu pun perusahaan memberi ruang dialog yang setara. Mereka disebut “mitra”, tetapi tak pernah dirangkul sebagai pekerja formal.
“Ini bukan sekadar demo. Ini perlawanan terhadap eksploitasi gaya baru,” kata Andri Setiawan, koordinator aksi Jakarta. “Kami bekerja 12 jam sehari, tetap miskin, tanpa perlindungan. Lalu siapa yang untung dari semua ini?”
Aspirasi utama pengemudi dalam demo nasional ini adalah menuntut penurunan potongan komisi aplikator maksimal menjadi 10 persen, serta jaminan keselamatan kerja dan asuransi. Namun, hingga aksi berlangsung, pemerintah lewat Kementerian Perhubungan baru menyatakan akan “menindaklanjuti”.
Pakar kebijakan ketenagakerjaan dari UI, Dr. Taufik Ridwan, menyebut bahwa pemerintah seharusnya tak hanya menjadi penonton. “Negara harus turun tangan. Ini bukan soal algoritma, ini soal nyawa dan masa depan buruh digital.”
Dengan nilai transaksi tahunan layanan ride hailing mencapai Rp135 triliun, IDEAS mencatat bahwa Gojek dan Grab menguasai hampir 90 persen pasar. Namun ironisnya, jutaan pengemudi yang menggerakkan sistem ini tak punya suara dalam pengambilan keputusan.
Demo 20 Mei menjadi simbol: bahwa digitalisasi tanpa etika adalah bentuk baru kolonialisme ekonomi.
Ketika jalanan macet dan pesanan tak kunjung datang, publik mungkin mengeluh. Tapi suara pengemudi ojol tak boleh diabaikan. Mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang seharusnya kita semua bela: keadilan dalam dunia kerja yang makin cair dan tanpa batas.
Apakah kita hanya akan menjadi konsumen yang menuntut “order cepat sampai”, tanpa peduli siapa yang mengantar dan bagaimana kehidupannya?
“Rp188 Miliar Hilang dalam Sehari”
Diagram lingkar: Distribusi dampak kerugian ke sektor-sektor UMKM, logistik, mobilitas pekerja, reputasi platform.
“Siapa Dapat Apa?”
Grafik batang: Perbandingan pendapatan bersih pengemudi (Rp/jam) vs potongan komisi aplikator.
“Peta Aksi 20 Mei 2025”
Indonesia map: Kota-kota besar dengan aksi serentak ojol (Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Makassar).
Aksi mogok nasional ojol bukan sekadar unjuk rasa. Ia adalah peringatan bagi negara, perusahaan, dan masyarakat bahwa ekonomi digital yang adil hanya mungkin terjadi jika ada keberpihakan yang nyata. Tanpa perlindungan, para pengemudi ini bukan mitra—mereka adalah korban yang dibungkam algoritma dan dibebani harapan konsumen yang tak pernah tahu sisi gelap di balik satu kali klik “order”.
“Jika negara gagal memberi perlindungan, maka digitalisasi hanya akan menjadi wajah baru dari perbudakan modern.”
– Pernyataan Redaksi Haluan Berita RakyatSumber berita dan dokumentasi CNN Indonesia