Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Haluanberitarakyat.com. Serang, 6 Agustus 2025 – Rekonstruksi lapangan yang digelar oleh Satgas Pangan Polri di PT Padi Indonesia Maju, Serang, Banten, membuka tabir pelanggaran mutu dalam proses produksi beras skala industri. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa praktik produksi yang tak sesuai standar masih terjadi, meski diklaim serba otomatis.
Berlokasi di Kawasan Industri Terpadu Wilmar, pabrik milik PT Padi Indonesia Maju memiliki kapasitas produksi mengesankan—sekitar 300 ton beras per hari. Dengan mesin canggih seperti pemecah kulit gabah, pemisah warna, dan pengemas otomatis, pabrik ini tampak menjanjikan produksi premium. Namun di balik modernisasi tersebut, Satgas Pangan menemukan sejumlah kejanggalan serius.
“Mesin boleh modern, tapi kalau pengawasannya longgar, kualitas tetap tidak terjamin,” tegas Brigjen Pol Helfi Assegaf, Dirtipideksus Bareskrim sekaligus Kasatgas Pangan Polri, saat memimpin langsung rekonstruksi.
Salah satu temuan krusial adalah pengawasan mutu (Quality Control) yang tidak sesuai prosedur. SOP mengharuskan pengujian sampling setiap dua jam. Namun di lapangan, Satgas menemukan hanya satu hingga dua kali uji sampling dilakukan dalam sehari. Akibatnya, beras yang diproduksi masih mengandung sisa menir, meski dalam jumlah kecil—sebuah cacat mutu yang tak bisa ditoleransi untuk produk berlabel “beras premium”.
“Kalau sudah mengklaim produk premium, maka toleransi untuk cacat hampir nol. Ini jadi PR besar bagi manajemen,” ujar Helfi.
Temuan lain yang mengejutkan adalah manipulasi berat kemasan. Setiap karung beras 25 kg diketahui secara sengaja ditambah 200 gram, demi menyesuaikan sistem pengemasan otomatis agar tidak ditolak. Meski terkesan ‘lebih’, tindakan ini berpotensi melanggar prinsip akurasi label dan standar pengemasan, serta menimbulkan kerugian dalam jangka panjang.
Yang lebih memprihatinkan, dari total 22 petugas Quality Control, hanya satu orang yang memiliki sertifikasi resmi. Hal ini menjadi indikasi lemahnya kompetensi teknis dalam rantai produksi yang sangat krusial bagi keamanan pangan.
“Ini bukan hanya soal produk, tapi menyangkut kepercayaan publik terhadap industri pangan kita. Sertifikasi itu wajib, bukan pilihan,” tegas Helfi.
Tiga orang yang terlibat langsung dalam kasus ini kini tengah diproses hukum dan tidak berada di lokasi saat rekonstruksi berlangsung. Meski demikian, operasional pabrik masih tetap berjalan, dengan catatan ketat dari Satgas untuk segera melakukan pembenahan.
Rekonstruksi ini merupakan bagian dari upaya pengawasan berkelanjutan Satgas Pangan Polri terhadap industri pangan nasional. Dengan penekanan pada mutu, transparansi, dan kepatuhan terhadap regulasi, Satgas berkomitmen memastikan masyarakat mendapatkan beras yang aman, bersih, dan sesuai label.
“Kami tidak ingin masyarakat tertipu dengan label premium yang ternyata hanya sekadar nama. Satgas akan terus mengawasi, dan bila perlu, menindak tegas,” tutup Helfi.
Kasus ini menegaskan pentingnya kontrol mutu dan transparansi di sektor pangan, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di tengah kebutuhan akan pangan berkualitas dan terjangkau, pelanggaran semacam ini tidak bisa dianggap remeh. {RED}