Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh Mohamad Rohman | HaluanBeritaRakyat.com
Jakarta, 30 Juni 2025 — Malam di Kota Tua Jakarta berubah menjadi panggung kebersamaan dan harmoni. Dalam rangka menyambut Hari Bhayangkara ke-79, Divisi Humas Polri bersama Polda Metro Jaya menghadirkan Festival Musik Jalanan di Lapangan Museum Fatahilah, Minggu malam (29/6/2025), sebagai bentuk nyata ruang aspirasi dan kolaborasi antara Polri dan masyarakat.
Tak sekadar konser, festival ini menyulap ruang publik menjadi area dialog terbuka melalui seni. Sejak pagi, warga telah memadati kawasan bersejarah itu untuk menikmati berbagai kegiatan layanan publik seperti perpanjangan SIM keliling, pembagian kopi gratis, dan kegiatan sosial dalam format “Kopi Bareng Polri”—sebuah pendekatan humanis yang mempertemukan polisi dan masyarakat secara setara.
Brigjen Pol. Tjahyono Saputro, Kepala Biro PID Divhumas Polri, menegaskan bahwa festival ini adalah simbol keterbukaan Polri terhadap kritik dan masukan masyarakat, disampaikan melalui cara yang lebih merakyat dan inspiratif: musik.
“Kami ingin menyampaikan bahwa Polri adalah bagian dari masyarakat. Kritik, apresiasi, dan harapan bisa disampaikan lewat seni. Inilah ruang yang kami buka untuk itu,” ujar Brigjen Tjahyono.
Tak hanya musisi jalanan dari Jabodetabek, festival juga menghadirkan komunitas Jogja Nol KM Pusik dan empat band difabel yang memukau penonton dengan penampilan penuh semangat dan keaslian—membuktikan bahwa panggung ini milik semua.
Festival musik ini bukan yang pertama. Sejak 2022, Polri menjadikan pertunjukan jalanan sebagai agenda tahunan jelang Hari Bhayangkara. Benteng Vredeburg Yogyakarta menjadi saksi awal lahirnya inisiatif ini, dan kini terus menyebar ke kota-kota besar sebagai wujud komitmen Polri membangun hubungan yang lebih humanis, akuntabel, dan inklusif.
“Antusiasme masyarakat luar biasa. Festival ini adalah ruang ekspresi bagi musisi jalanan, sekaligus ruang refleksi bagi Polri. Kami terus belajar dari suara rakyat,” ungkap Tjahyono.
Di tengah sorotan terhadap lembaga penegak hukum, langkah Polri membuka panggung budaya seperti ini layak diapresiasi. Tak hanya mempererat hubungan emosional, tetapi juga menjadi bukti bahwa Polri tidak alergi terhadap kritik—selama disampaikan dengan semangat membangun.
Festival ini juga menjadi pengingat bahwa keamanan tidak hanya soal menegakkan hukum, tapi juga menjaga kehangatan sosial dan budaya.
Dengan semangat “Polri Untuk Masyarakat”, Festival Musik Jalanan bukan sekadar hiburan, melainkan strategi komunikasi yang cerdas dan membumi. Ia membuka ruang di luar meja birokrasi—tempat nada dan lirik menjadi bahasa kepercayaan baru antara rakyat dan penegaknya.