Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
haluanberitarakyat.com – Senin, 11 Agustus 2025 | 12:16 WIB
Setiap subuh di sebuah kampung nelayan di pesisir Sulawesi, Dika (13) biasanya membantu ibunya memilah ikan hasil tangkapan ayahnya. Bau laut sudah akrab di kulitnya sejak kecil, tapi buku pelajaran jarang ia sentuh. Sekolah jarang ia masuki karena jarak, biaya, dan perut yang sering kosong.
Semua berubah ketika Sekolah Rakyat berdiri tak jauh dari desanya. Kini, Dika tinggal di asrama, punya laptop sendiri, makan tiga kali sehari, dan belajar di kelas berpendingin udara dengan guru yang sabar membimbing. “Saya mau jadi insinyur, bangun jembatan di kampung saya,” katanya dengan mata berbinar.
Cerita Dika adalah satu dari ribuan kisah yang lahir dari Program Sekolah Rakyat, inisiatif pemerintah yang dirancang untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Model sekolah gratis berasrama ini menyasar anak-anak dari keluarga prasejahtera, memberi mereka kesempatan yang setara untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi.
“Presiden tidak ingin kemiskinan diwariskan. Pendidikan adalah jalannya. Ini cara negara memberikan harapan dan membalik yang selama ini dianggap tidak mungkin,” ujar Sekjen Kemensos Robben Rico dalam forum Indonesia.go.id Menyapa di Surabaya, Minggu (9/8/2025).
Targetnya besar: 15.370 siswa di 159 lokasi sekolah tahun ini, didukung 2.807 guru dan 4.442 tenaga kependidikan. Sekolah tersebar dari Sumatra hingga Papua, dengan target 200 sekolah baru tiap tahun. Sebanyak 53 unit siap diresmikan dalam waktu dekat, termasuk 30 sekolah yang akan diluncurkan pertengahan Agustus.
Setiap sekolah dilengkapi fasilitas modern: ruang kelas interaktif, laboratorium keterampilan, perpustakaan digital, lapangan olahraga indoor–outdoor, klinik kesehatan, asrama layak huni, kantin bergizi, dan kebun sekolah.
Minimal 5 persen kuota dikhususkan bagi siswa berkebutuhan khusus. Penerimaan siswa tidak berdasarkan tes akademik, tetapi kondisi sosial-ekonomi, dengan pendampingan keluarga sebagai bagian penting program. Semua kebutuhan, dari seragam hingga laptop, ditanggung penuh oleh negara.
“Siswa tidak hanya diajarkan akademik, tapi juga karakter, keterampilan hidup, layanan gizi, kesehatan, dan pengasuhan 24 jam,” jelas Robben Rico.
Sekolah Rakyat juga memanfaatkan teknologi melalui E-Learning Sekolahku, Sistem Informasi Buku (SIBI), Talent DNA Mapping, dan dashboard pemantauan aktivitas siswa. Dengan ekosistem digital ini, proses belajar menjadi transparan, terukur, dan melibatkan orang tua.
“Sekolah Rakyat mempersiapkan generasi literat digital, terampil, dan siap menghadapi masa depan,” tambah Robben.
Survei nasional mencatat 94,4 persen masyarakat mendukung penuh program ini. Mayoritas yakin dapat menyetarakan kualitas pendidikan (82,2 persen), menurunkan angka putus sekolah (83,9 persen), dan mengatasi kemiskinan (76,6 persen).
Dukungan ini diperkuat oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) melalui portal Indonesia.go.id dan forum IGID Menyapa, yang menggabungkan literasi digital dengan jurnalisme publik. “Kami ingin membangun narasi bangsa yang inklusif, dari masyarakat untuk masyarakat,” kata Direktur Informasi Publik, Nursodik Gunarjo.
Bagi Dika dan ribuan anak lain, Sekolah Rakyat adalah tiket menuju masa depan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dari lorong asrama yang hangat, ruang kelas yang canggih, hingga halaman sekolah yang penuh tawa, mereka kini punya ruang untuk belajar dan bermimpi.
Filosofinya sederhana namun dalam: “Cerdas Bersama, Tumbuh Setara.”
Dari kampung nelayan di Sulawesi hingga pegunungan Papua, Sekolah Rakyat membuktikan bahwa mimpi anak-anak Indonesia layak diperjuangkan — dan bahwa negara hadir untuk memastikan mimpi itu tidak lagi mustahil. {RED}