Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Slamet Sulaiman | HaluanBeritaRakyat.com
Di tengah gelombang kehidupan yang penuh tekanan—ketidakpastian ekonomi yang kian menghimpit, relasi sosial yang kian renggang karena individualisme, hingga spiritualitas yang perlahan gersang diterpa hiruk pikuk dunia—syukur bukan sekadar anjuran normatif, melainkan fondasi utama keberlangsungan jiwa dan kehidupan.
Syukur bukan hanya ungkapan bibir yang diucap saat menerima nikmat, melainkan ibadah hati yang mendalam, pengakuan akal yang jernih, dan perwujudan amal yang nyata. Ia adalah cahaya batin yang mengajarkan manusia untuk melihat nikmat meski dalam kekurangan, menemukan harapan di tengah kesempitan, dan menyadari kasih sayang Ilahi bahkan di balik ujian yang paling gelap. Dalam syukur, seorang hamba memeluk takdirnya dengan kerendahan hati, tanpa kehilangan ikhtiar dan cita.
Syukur adalah pintu besar menuju rahmat Allah. Dengan bersyukur, nikmat bukan hanya terasa cukup, tapi terus bertambah, sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya:
“وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”
“Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)
Dalam ayat ini, Allah tidak hanya memotivasi hamba-Nya untuk bersyukur, tapi juga menegaskan bahwa syukur memiliki dampak langsung terhadap kelimpahan nikmat dan keselamatan dari azab. Bersyukur berarti menjaga nikmat, sementara kufur nikmat membuka pintu kerusakan dan kehancuran jiwa.
Rasulullah ﷺ pun mengajarkan teladan syukur dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam sebuah hadits shahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا؟”
“Rasulullah ﷺ biasa shalat malam sampai kedua kakinya bengkak. Maka aku (Aisyah) bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?’”
(HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2819)
Hadits ini menunjukkan bahwa syukur bukan hanya dilakukan saat mendapat nikmat duniawi, tetapi juga dalam bentuk ibadah sungguh-sungguh, sebagai pengakuan akan limpahan rahmat dan ampunan dari Allah.
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Adzkar dan Syarh Shahih Muslim menekankan bahwa syukur sejati terdiri dari tiga unsur utama:
“أَنْ تَعْرِفَ النِّعْمَةَ مِنَ اللهِ، وَأَنْ تَرْضَى بِهَا، وَأَنْ تَسْتَعْمِلَهَا فِي مَرْضَاتِهِ”
“(Syukur adalah) mengakui bahwa nikmat berasal dari Allah, ridha atas nikmat tersebut, dan menggunakannya dalam hal-hal yang diridhai-Nya.”
Dengan demikian, syukur adalah kesadaran teologis, kebahagiaan batin, dan tanggung jawab moral. Ia bukan hanya menghindarkan seseorang dari keluh kesah, tapi juga membentengi dari penyakit hati seperti iri, tamak, dan kufur nikmat.
Dalam kehidupan yang serba tak pasti ini, orang yang bersyukur akan tetap kokoh dan tenang. Ia tak mudah goyah oleh keadaan karena hatinya tertambat pada Tuhan yang Maha Memberi. Dan saat banyak orang kehilangan pegangan batin karena badai kehidupan, orang yang bersyukur akan menjadi pelita yang memancarkan harapan.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitab Al-Adzkar menyatakan:
النِّعْمَةُ إِذَا شُكِرَتْ قَرَّتْ، وَإِذَا كُفِرَتْ فَرَّتْ
“Nikmat jika disyukuri akan menetap, dan jika dikufuri akan lenyap.”
(Al-Adzkar, hlm. 369)
Imam Nawawi menekankan bahwa syukur adalah penjaga keberlanjutan nikmat, sementara kufur nikmat adalah jalan tercepat menuju kehancuran.
Kehidupan manusia adalah kumpulan ujian dan dinamika. Ada suka dan duka, gagal dan berhasil, tawa dan air mata. Tapi semua itu adalah bagian dari episode hidup yang dirancang untuk mendewasakan dan mendekatkan kita pada Allah SWT.
Ketika masalah datang, kita sering bereaksi secara spontan: mengeluh, menyalahkan, bahkan marah pada keadaan. Padahal, jika kita ubah cara pandang — bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah, dan kita hanyalah hamba yang diberi amanah untuk menjalani peran — maka hati kita akan lebih lapang.
“Mengapa kita terlalu memikirkan dunia ini, padahal dunia ini bukan milik kita? Dunia ini milik Allah. Kita hanya menumpang hidup,” tulis penulis dalam perenungan spiritualnya.
Dalam perspektif Islam, rasa syukur memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Bahkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 10, ada tafsir yang menyandingkan rasa syukur dengan taqwa.
“Fattaqullaha la’allakum turhamun” – “Bertakwalah kepada Allah agar kamu diberi rahmat.”
Kalimat ini menyiratkan bahwa taqwa dan syukur adalah dua sisi dari koin keimanan yang sama.
Orang yang bertaqwa, akan bersyukur. Dan orang yang bersyukur, akan tergerak untuk bertaqwa. Keduanya saling menguatkan.
Islam tidak hanya menekankan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya (hablum minannas).
Dalam hablum minallah, rasa syukur diwujudkan melalui:
Ketaatan dalam ibadah.
Keikhlasan dalam menerima takdir.
Keyakinan bahwa setiap nikmat dan ujian adalah bentuk kasih sayang Allah.
Sementara dalam hablum minannas, syukur akan memancarkan:
Akhlak mulia seperti jujur, amanah, adil, dan tolong-menolong.
Kesabaran saat dikhianati atau dikecewakan oleh manusia.
Sikap lapang dada, karena memahami bahwa kebaikan yang kita tanam adalah bentuk syukur kepada Allah, bukan karena ingin dipuji atau dibalas oleh sesama.
Mulai Hari dengan Alhamdulillah
Sadari bahwa bisa bangun pagi adalah nikmat luar biasa. Ucapkan “Alhamdulillah” dengan kesadaran penuh.
Hadapi Masalah dengan Perspektif Ilahiah
Saat cobaan datang, jangan langsung panik. Tenangkan diri, ucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, lalu cari hikmah di balik kejadian itu.
Berterima Kasih dan Tidak Mengeluh Kecil
Bersyukur bukan berarti pasrah. Tapi melatih diri untuk melihat sisi terang dalam setiap situasi. Keluhan kecil bisa diganti dengan kalimat seperti: “Saya diuji untuk jadi lebih kuat.”
Berbagi Sebagai Tanda Syukur
Jika kita diberi kelebihan, sekecil apa pun, jadikan itu sebagai peluang berbagi. Karena dalam Islam, memberi juga bagian dari syukur.
Jaga Akhlak Sosial
Ketika kita sadar bahwa sesama manusia adalah ciptaan Allah juga, maka perlakuan kita pada mereka mencerminkan seberapa dalam rasa syukur kita.
Rasa syukur bukan hanya memperindah hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan manusia dan kehidupan itu sendiri. Dalam dunia yang penuh persaingan, iri hati, dan tekanan, syukur adalah rem spiritual yang menenangkan, sekaligus bahan bakar untuk tetap melaju dengan harapan.
Mulailah hari dengan bersyukur, jalani dengan sabar, dan akhiri dengan ikhlas. Itulah fondasi kehidupan yang sesungguhnya.