“Retorika Tanpa Aksi: Pemda Lampung Belum Siap Atasi Kemiskinan”

Kamis, 7 Agustus 2025 04:34:20

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Tanpa basis data yang valid dan kebijakan yang berpihak, pemda di Lampung dinilai hanya sibuk seremoni, sementara rakyat terperosok dalam jurang kemiskinan ekstrem.

Bandar Lampung – HaluanBeritaRakyat.com

Kemiskinan di Lampung masih menjadi luka menganga yang belum juga dijahit. Meski belasan tahun reformasi berjalan dan otonomi daerah ditegakkan, mayoritas pemerintah daerah (Pemda) di provinsi ini dinilai belum menunjukkan langkah konkrit dalam mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat. Yang lebih mencemaskan, 60 persen dinas sosial kabupaten/kota bahkan tidak memiliki data valid mengenai jumlah warga rawan miskin, miskin, dan miskin ekstrem.

“Bagaimana mungkin bisa mencari solusi jika masalah dasarnya saja, yakni data, tidak dimiliki?” sindir Direktur Masyarakat Peduli Demokrasi dan Hukum (MPDH), Jupri Karim, saat ditemui di kantornya, kawasan Tanjung Senang, Bandar Lampung (7/8).

Kenyataan Lapangan yang Menyakitkan

Hasil pemantauan tim HaluanBeritaRakyat.com menunjukkan kenyataan yang jauh dari ideal. Di berbagai sudut kota dan kabupaten di Lampung, mudah ditemui pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan, bahkan kelompok remaja jalanan seperti anak-anak fank yang meresahkan warga. Mereka berkeliaran di pasar-pasar, persimpangan jalan, bahkan tak segan mengetuk rumah-rumah warga untuk meminta sumbangan.

Realitas ini mempertegas satu hal: kebijakan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang digembar-gemborkan pemerintah belum menyentuh akar persoalan.

“Kebijakan sosial seharusnya berdiri di atas basis data yang valid dan transparan. Jika tidak, itu hanya menjadi formalitas APBD, bukan solusi konkret bagi rakyat,” tegas Jupri.

APBD Tidak Transparan, Kebijakan Tidak Tepat Sasaran

MPDH juga menyoroti minimnya transparansi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hingga kini, publik belum mengetahui secara jelas berapa persen APBD masing-masing kabupaten/kota di Lampung yang benar-benar dialokasikan untuk rakyat miskin, bukan untuk kegiatan seremonial atau proyek-proyek tak prioritas.

“Apakah rakyat miskin menikmati APBD, atau hanya orang-orang kaya yang sudah sejahtera ikut menikmati proyek? Ini yang harus dijawab Pemda secara terbuka,” kata Jupri.

Pendidikan: Wajib Belajar Masih Jadi Slogan

Persoalan kemiskinan semakin pelik saat dikaitkan dengan sektor pendidikan. Meski Gubernur Lampung telah membebaskan siswa SMA, SMK, dan SLB dari pungutan uang komite, kebijakan ini belum diikuti oleh mayoritas kabupaten/kota untuk tingkat SMP dan sederajat.

“Anak saya disuruh bayar uang komite Rp250 ribu. Kalau nggak bayar, diminta ikut les tambahan,” keluh ‘Be’, salah satu wali murid di Bandar Lampung. Keluhan serupa datang dari wali murid lain seperti ‘Ar’, ‘Ud’, dan ‘Say’ yang menyebut tagihan komite sering dibebankan tanpa musyawarah.

Padahal, Undang-Undang menyebutkan wajib belajar 12 tahun harus dijamin negara tanpa hambatan biaya. Namun dalam praktiknya, kebijakan tersebut belum menyentuh akar sampai ke tingkat bawah.

Kritik Terhadap Gaya Kepemimpinan Seremonial

Aktivis nasional yang juga pengamat kebijakan publik, Jupri Karim, menyayangkan gaya kepemimpinan pemda yang lebih sibuk pada seremoni ketimbang aksi nyata. Ia membandingkan kondisi ini dengan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi dan sebelumnya Ridwan Kamil, yang dikenal dengan kebijakan responsif dan berbasis pada kebutuhan rakyat kecil.

“Pemimpin yang kita butuhkan bukan yang hobi gunting pita, tapi yang mau turun ke kampung-kampung, tanya langsung ke rakyat. Kita butuh lebih banyak ‘KDM’ di Lampung,” ujarnya tajam.

Ajakan untuk Mengawasi Bersama

Jupri menyerukan agar seluruh elemen masyarakat, mulai dari pengawas pendidikan, praktisi, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil dan NGO, tidak tinggal diam. Ia mengajak untuk membentuk sistem pengawasan bersama terhadap kebijakan pemerintah daerah, terutama di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi kerakyatan.

“Jangan biarkan rakyat miskin terus menjerit sendirian. Kita harus awasi APBD, kita harus desak Pemda buat kebijakan yang terukur dan tepat sasaran,” pungkasnya.

Penutup

Ketika rakyat miskin masih mengais harapan di jalanan, ketika anak-anak masih dibebani biaya sekolah, dan ketika Pemda belum juga serius membenahi data serta kebijakannya, maka wajar jika publik bertanya: pembangunan ini untuk siapa?

Lampung tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan kemauan politik untuk memberdayakan yang lemah. {JP}

banner-website

Viral

Populer