KDM Hadiri Pertemuan Marga Simbolon: Saat Rasa Menyatukan Sunda dan Batak

Rabu, 9 Juli 2025 03:21:58

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Dalam pertemuan penuh makna dan kehangatan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) sampaikan filosofi “bahasa rasa” dan kepemimpinan otentik. Bukan hanya pidato, tetapi pertemuan hati antara budaya Sunda dan Batak.

Jakarta – HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman

Dalam acara pertemuan besar Marga Simbolon yang penuh keakraban dan emosi, Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) menyampaikan pidato yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran akan akar budaya, identitas, dan pentingnya ikatan emosional antar suku di Indonesia.

“Kita ini sesungguhnya makhluk kebudayaan. Karena itu kita terikat pada tanah, air, udara, dan matahari. Dari situ lahir bahasa, makanan, pakaian, dan kesenian—itulah jati diri kita,” ujar Dedi Mulyadi yang disambut haru dan tawa hadirin dari kalangan Marga Simbolon.

Kehadirannya dalam forum yang didominasi warga Batak tersebut bukan sekadar basa-basi politik. Dengan gaya bicara khas, tanpa teks, dan penuh spontanitas, Dedi menyingkap nilai-nilai universal yang kerap dilupakan: rasa, cinta, dan keikhlasan dalam memberi serta menasihati. Ia menyebutnya sebagai bahasa rasa.

Sunda-Batak: Dua Arah, Satu Rasa

Dedi menyentil dengan jenaka dan filosofis perbedaan antara orang Batak dan orang Sunda. Orang Batak, katanya, ekspresinya sering terlihat datar meski hatinya hangat. “Orang Batak itu selalu bahagia, setidaknya dari tampangnya. Mau susah, tetap percaya diri,” ucapnya, disambut gelak tawa.

Sementara orang Sunda lebih ekspresif. “Kalau saya marah, langsung ribut di media sosial. Kalau Batak, marah atau enggak, ekspresinya sama,” ungkap KDM sembari menyebut bahwa puncak spiritualitas Sunda adalah tangisan, sementara Batak adalah tawa.

Kebahagiaan, katanya, bukan soal gedung pencakar langit atau restoran mewah. “Buktinya, orang Jakarta kalau libur pasti pulang kampung. Artinya, kebahagiaan adalah bertemu saudara, pulang ke akar.”

Marga sebagai Penjaga Identitas

KDM secara khusus memuji kekuatan budaya Batak dalam menjaga identitas melalui sistem marga. “Mau tinggal di Amerika pun, mereka tetap Simbolon. Itu bentuk kecerdasan leluhur Batak menjaga genetika budaya,” ujarnya.

Sebaliknya, ia menyoroti lunturnya ikatan antarwarga Sunda yang kini sulit dikumpulkan kecuali saat Lebaran atau hajatan. “Orang Sunda harus mulai membangun kembali identitas dan kebanggaan budaya. Maka saya pakai iket (ikat kepala Sunda), bukan sekadar simbol, tapi pemicu percaya diri,” ungkapnya.

Kepemimpinan Otentik: Memimpin dengan Hati

Dedi Mulyadi menegaskan bahwa dirinya menganut konsep kepemimpinan otentik. Pidato tanpa teks adalah simbol kejujuran dan keterhubungan emosional. “Kalau saya pakai teks, saya bukan gubernur, tapi hanya pembaca pidato staf,” katanya tegas.

Ia menyebut bahwa pemimpin harus marah ketika rakyat salah, menangis ketika rakyatnya menderita, dan bahagia ketika rakyatnya bersatu. “Marah karena cinta, menangis karena cinta, bahagia karena cinta. Semuanya harus tulus.”

Indonesia Butuh Bahasa Rasa, Bukan Bahasa Kepentingan

Dalam bagian paling reflektif, Dedi mengajak semua pihak, terutama elite politik, untuk berbicara dengan hati. “Kalau bicara dengan hati, orang akan mengerti dengan rasa. Kalau bicara pakai pikiran atau kepentingan, hanya akan melahirkan kebisingan,” ujar Dedi, mengutip ajaran tokoh spiritual Sunda, Abah An:

“Lamun nyarita ku létah kadengéna ku ceuli. Tapi lamun nyarita ku hate, katarimna ku rasa.”

(Jika bicara dengan lidah, hanya sampai di telinga. Tapi jika bicara dengan hati, sampai ke rasa.)

Penutup: Saat Derita Sampai di Sini

Acara diakhiri dengan nyanyian sendu dari KDM yang membawakan lagu penuh penyesalan dan harapan. Sebuah pesan spiritual untuk mengakhiri luka dan mulai merajut bahagia.

“Cukup derita sampai di sini. Mari kita raih kebahagiaan. Tapi bagi yang masih punya pasangan, nikmatilah penderitaan itu sampai akhir hayat,” tutupnya dengan jenaka, disambut gelak tawa dan haru dari hadirin.

Catatan Redaksi:

Kehadiran KDM dalam pertemuan Marga Simbolon bukan hanya soal politik identitas, tetapi pelajaran penting tentang pentingnya menjaga budaya, memimpin dengan nurani, dan membangun ikatan antarmanusia melalui bahasa rasa. Di tengah hiruk pikuk politik transaksional, Dedi Mulyadi memperlihatkan wajah pemimpin yang otentik—tak sempurna, tapi jujur dan penuh getar hati.

Penulis:

Mohamad Rohman – Redaksi HaluanBeritaRakyat.com

banner-website

Viral

Populer