Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman
“Koperasi bukan tempat berkumpulnya niat baik semata, tapi institusi ekonomi rakyat yang wajib dikelola secara profesional dan transparan.”
Ketika euforia program Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih menggema dari gedung parlemen hingga ke pelosok desa, banyak pihak berharap koperasi ini menjadi jangkar ekonomi lokal yang memberdayakan rakyat. Namun, di balik semangat itu, muncul pertanyaan tajam: apa yang terjadi jika koperasi bangkrut? Siapa yang bertanggung jawab: ketua, anggota, pengawas, atau pemerintah?
Kegagalan koperasi bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak koperasi tumbang karena salah kelola, moral hazard pengurus, hingga kurangnya pengawasan anggota dan regulator. Bila Kopdes/Kel Merah Putih tak dipagari regulasi dan akuntabilitas yang ketat, maka program ini bisa bernasib serupa dengan BUMDes gagal: banyak didirikan, sedikit yang bertahan, dan hampir nihil yang transparan.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta peraturan pelaksananya yaitu PP Nomor 7 Tahun 2021 dan Permenkop UKM No. 8 Tahun 2021, sanksi terhadap koperasi dapat dikenakan terhadap:
Pengurus Koperasi (Ketua, Sekretaris, Bendahara)
Jika terbukti terjadi penyimpangan keuangan, penipuan, atau kebijakan salah urus yang merugikan anggota, maka pengurus dapat dijatuhi:
Sanksi administratif: teguran, pemberhentian.
Sanksi pidana/perdata: sesuai Pasal 50 UU No. 25/1992, pengurus bisa dituntut secara pidana jika melakukan penggelapan atau penyalahgunaan dana.
Pengawas Koperasi
Pengawas bertugas mengontrol jalannya koperasi. Bila lalai, ia dapat diberhentikan atau turut digugat dalam tanggung jawab perdata.
Anggota Koperasi
Meski memiliki tanggung jawab terbatas, anggota tetap bertanggung jawab proposional sesuai simpanan pokok dan wajibnya. Dalam hal tertentu, mereka bisa kehilangan hak suara, dividen, bahkan diminta menutup defisit (bail-in) sesuai AD/ART koperasi.
Sampai saat ini, belum ada UU khusus bernama “UU Kopdes Merah Putih.” Namun, program ini dilandasi:
Inpres No. 2 Tahun 2025 tentang Percepatan Transformasi Ekonomi Desa melalui Koperasi Merah Putih.
Permenkop UKM No. 9 Tahun 2024 tentang Pembentukan, Pengembangan, dan Monitoring Kopdes/Kel Merah Putih.
Rencana Aksi Pusat – Daerah yang menetapkan target 80 koperasi desa percontohan dengan plafon kredit mencapai Rp3 miliar.
Namun, tanpa undang-undang yang kokoh, program ini rawan dibajak oknum elit desa atau menjadi alat politik praktis.
Beberapa negara menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat:
Koperasi S-Group menguasai 46% pasar ritel nasional.
Dikelola secara profesional, koperasi ini bahkan memiliki bank sendiri dan menyumbang €1,2 miliar ke PDB Finlandia per tahun.
JA Group (Japan Agricultural Cooperatives) bukan hanya mengelola beras dan hasil tani, tapi juga memiliki bank dan asuransi sendiri.
JA menyumbang lebih dari 5% PDB Jepang dan dikenal sebagai koperasi paling efisien di Asia.
Amul Dairy Cooperative melibatkan 3,6 juta peternak dan mengelola produksi susu terbesar kedua di dunia.
Omzet tahunan Amul pada 2023 mencapai US$ 10 miliar, setara Rp160 triliun.
Tanpa sistem pengawasan ketat dan sanksi yang jelas, koperasi berisiko menjadi “proyek bancakan”.
Koperasi harus jadi institusi bisnis berbasis rakyat, bukan proyek pemerintah yang dikelola ala kadarnya.
Dibutuhkan business model yang sesuai karakter desa, bukan sekadar copy-paste koperasi urban.
Koperasi Merah Putih seharusnya tidak menjadi simbol politik, melainkan institusi kepercayaan. Kredibilitas hanya bisa dijaga jika sanksi tegas diterapkan bagi yang menyimpang. Apakah negara berani memberi sanksi pidana bagi ketua koperasi yang menyalahgunakan dana? Apakah warga desa benar-benar diberdayakan, atau sekadar jadi “nama di daftar”?
Membangun koperasi itu mudah. Menjaganya tetap hidup, profesional, dan milik rakyat — itulah tantangannya.
Jika Anda setuju koperasi harus diselamatkan dari jerat politik dan salah urus, laporkan dugaan penyelewengan ke Inspektorat Daerah, Dinas Koperasi, atau whistleblowing system Kemenkop UKM.
Karena koperasi bukan milik segelintir elit desa. Ia milik rakyat, dan untuk rakyat.