Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Haluanberitarakyat.com. Jakarta – Di tengah riuhnya gelombang protes dan aksi unjuk rasa belakangan ini, dunia maya menjadi medan pertempuran yang tak kalah panas dari jalanan. Dittipidsiber Bareskrim Polri bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengumumkan langkah tegas: memblokir 592 akun media sosial yang terindikasi menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk berbuat anarkis.
Langkah ini bukan sekadar pemblokiran biasa. Brigjen Himawan Bayu Aji, Dirtipidsiber Bareskrim Polri, mengungkapkan bahwa patroli siber telah dilakukan secara maraton sejak 23 Agustus hingga 3 September 2025, memantau peredaran konten yang dianggap berpotensi memicu kerusuhan.
“Akun-akun ini tidak hanya menyebarkan ujaran kebencian, tetapi juga mengajak massa melakukan tindakan melanggar hukum pada saat kegiatan unjuk rasa,” tegas Brigjen Himawan dalam konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (3/9/2025) malam.
Fenomena provokasi daring bukan hal baru. Namun, dengan situasi sosial-politik yang memanas, penyebaran pesan provokatif bisa menyulut bara dalam hitungan jam. Menurut data Bareskrim, beberapa akun bahkan memiliki ribuan pengikut dan mengunggah konten secara terstruktur, menggunakan narasi yang memicu emosi kolektif seperti ketidakadilan, kemarahan terhadap pemerintah, dan ajakan turun ke jalan.
Seorang analis media sosial, Dr. Anindya Putri dari Universitas Indonesia, menilai langkah ini penting untuk menjaga stabilitas.
“Kita harus ingat, media sosial memiliki efek domino. Satu unggahan provokatif bisa memengaruhi ribuan orang dalam hitungan menit. Jika tidak diawasi, dampaknya bisa nyata di lapangan – dari penjarahan hingga bentrokan,” ujarnya.
Tak hanya memblokir akun, Polri juga menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Mereka adalah WH (31), KA (24), LFK (26), CS (30), IS (39), SB (35), dan G (20).
Enam di antaranya kini ditahan, sementara satu tersangka lain dikenakan wajib lapor dua kali seminggu.
Menurut Brigjen Himawan, para tersangka menggunakan berbagai platform populer – dari Facebook, X, hingga grup Telegram – untuk mengatur waktu, lokasi, dan strategi aksi massa. Polisi menyita ponsel, laptop, dan dokumen digital yang kini menjadi barang bukti.
Meski langkah pemblokiran ini menuai dukungan, sebagian pihak menyoroti potensi pelanggaran kebebasan berekspresi. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) meminta pemerintah tetap transparan dalam proses pemblokiran dan memastikan hanya akun yang benar-benar melanggar hukum yang ditindak.
“Penting untuk ada akuntabilitas. Jangan sampai pemblokiran ini dijadikan alat membungkam kritik publik yang sah,” kata Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR.
Langkah tegas Polri ini seakan menjadi alarm bagi masyarakat. Di era digital, unggahan di media sosial bukan lagi sekadar “status” atau “opini pribadi”, melainkan dapat menjadi bukti hukum.
Brigjen Himawan menutup konferensi pers dengan peringatan:
“Kita tidak melarang kritik atau unjuk rasa yang sah. Tapi jika ada ajakan anarkis, penjarahan, atau kekerasan, itu bukan kebebasan berekspresi. Itu tindak pidana.”
Di balik layar ponsel, ratusan akun sudah diputus jaringannya. Namun, perang melawan provokasi digital belum usai. Pertanyaannya, apakah langkah ini akan mencegah eskalasi kerusuhan di dunia nyata – atau justru memicu perlawanan baru di dunia maya? {MOHAMAD ROHMAN}