HUT ke-80 RI di Istana: Antara Semarak, Simbol, dan Seleksi 16 Ribu Tamu

Selasa, 12 Agustus 2025 10:54:07

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Haluanberitarakyat.com | 13 Agustus 2025. Jakarta — Di halaman Istana Merdeka, warna merah dan putih mulai mendominasi. Petugas protokoler berlatih formasi, pasukan pengibar bendera berulang kali memeriksa langkah. Namun di balik gemuruh persiapan menyambut HUT ke-80 Kemerdekaan RI, ada cerita lain: bagaimana 16 ribu orang terpilih untuk menghadiri perayaan bersejarah ini, sementara ribuan lainnya hanya bisa menonton dari layar kaca.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi—akrab disapa Menteri Pras—menyebut angka itu dengan nada mantap. “Masing-masing sesi, pagi dan sore, akan dihadiri 8.000 undangan,” ujarnya kepada wartawan usai menyaksikan gladi kotor di Istana, Selasa (12/8).

Namun, di luar pagar Istana, antusiasme masyarakat jauh melampaui kursi yang tersedia. Dari catatan panitia, jumlah pendaftar yang ingin hadir melampaui kapasitas beberapa kali lipat. Keterbatasan tempat memaksa panitia menyaring tamu undangan. Mekanisme seleksi—yang menurut panitia mengacu pada kombinasi representasi wilayah, latar belakang profesi, dan prioritas tamu resmi—menjadi cerita tersendiri.

“Memang banyak yang ingin hadir, tapi ruang kami terbatas. Kami mohon maaf,” kata Menteri Pras.

Busana Sebagai Pesan Politik Budaya

Bagi tamu resmi, protokoler masih memegang tradisi: pakaian adat dari seluruh nusantara. Tahun lalu, potret keragaman itu menjadi bahan pembicaraan publik, terutama ketika pejabat tinggi muncul dengan busana khas daerah yang jarang terlihat di panggung nasional.

Tahun ini, pesan kultural tetap dipertahankan. Namun bagi masyarakat umum yang kebetulan hadir di sekitar Istana, tidak ada kewajiban mengenakan pakaian tertentu. “Yang penting semangatnya,” ujar Pras, sambil menyarankan bila memungkinkan memakai warna merah atau putih.

Sejumlah pengamat protokoler menilai kelonggaran ini punya makna strategis. “Tidak semua orang punya pakaian adat. Dengan memberi kelonggaran, acara ini lebih inklusif, walau tetap mempertahankan simbol negara di level tamu resmi,” kata seorang sumber di lingkaran panitia yang enggan disebut namanya.

Acara Rakyat, Tapi Tidak Semua Bisa Masuk

Di dalam, agenda hiburan akan dipenuhi kelompok seni, instansi, hingga komunitas masyarakat. Panitia mengaku banjir usulan, mulai dari penampilan tarian daerah hingga paduan suara siswa SD. “Selama tidak mengganggu acara inti, kami akomodir,” kata Pras.

Namun, di luar kemeriahan, muncul pertanyaan klasik: seberapa jauh perayaan ini benar-benar milik rakyat? Beberapa aktivis kebudayaan mengingatkan, seleksi ketat justru bisa menimbulkan kesan eksklusif. “Kalau kemerdekaan adalah milik semua, maka perayaannya juga harus memberi ruang yang sama untuk semua,” ujar seorang pengamat politik budaya.

Di balik sorak-sorai dan parade warna-warni yang akan memenuhi Istana pada 17 Agustus nanti, ada fakta yang tak bisa diabaikan: ribuan orang akan tetap berada di luar pagar, menonton dari jarak jauh. Sebagian mungkin tidak peduli. Sebagian lagi akan mengingatnya sebagai simbol bahwa di usia 80 tahun kemerdekaan, akses ke panggung nasional masih menjadi hak istimewa.

Namun, seperti yang kerap terjadi, momen ini akan tetap diabadikan: bendera raksasa merah putih berkibar di angkasa, dentuman 17 meriam menggema, dan Indonesia sekali lagi merayakan kemerdekaannya—di dalam dan di luar pagar.[red]

Foto: BPMI Setpres
 
 
 
banner-website

Viral

Populer