Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Foto: Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (dok. Polri)
JAKARTA, haluanberitarakyat.com
Indonesia tengah berada di titik krisis moral. Lembaga negara yang seharusnya menjadi pelindung kini tercoreng oleh dugaan kejahatan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat. Komnas Perempuan secara tegas menyebut negeri ini sedang menghadapi darurat kekerasan seksual, seiring meningkatnya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (14/3/2025).
“Ini peringatan keras bagi semua pihak. Aparat penegak hukum, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan harus bersungguh-sungguh mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ujar Veryanto.
Kejahatan Seksual di Jantung Institusi Hukum
Kasus yang menjadi sorotan tajam adalah dugaan tindakan asusila oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, terhadap anak. Yang lebih mencengangkan, aksi bejat tersebut tidak hanya dilakukan secara berulang, tetapi juga direkam dalam bentuk video dan diduga beredar dalam jaringan industri pornografi.
“Ketika aparat—yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan—malah menjadi pelaku, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran etik. Ini pengkhianatan terhadap mandat konstitusi,” tegas Veryanto.
Fakta Darurat: Data yang Mencengangkan
Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat:
Sumber: Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024
Seruan untuk Hukuman Maksimal dan Reformasi Institusi
Komnas Perempuan mendesak Kepolisian Republik Indonesia agar menangani kasus AKBP Fajar dengan profesional, transparan, dan memberi hukuman maksimal sesuai UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pasal 15 UU TPKS secara eksplisit menyebutkan bahwa jabatan atau kekuasaan yang dimanfaatkan dalam tindak kekerasan seksual menjadi alasan pemberatan hukuman, bahkan hingga hukuman seumur hidup atau kebiri kimia dalam kasus tertentu.
Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menyatakan pada Media Indonesia (14/3/2025), “Kami ingin kasus ini dijadikan preseden hukum tegas. Bukan hanya untuk efek jera, tetapi sebagai langkah reformasi internal aparat keamanan.”
Korban: Luka Ganda dari Kekerasan dan Stigma
Yang sering terlupakan dalam pusaran kasus semacam ini adalah korban dan keluarganya. Selain mengalami trauma fisik dan psikis, korban kekerasan seksual juga kerap dihadapkan pada stigmatisasi sosial, pengucilan, hingga tekanan keluarga.
“Korban kerap dibungkam karena pelaku punya kuasa. Ini bukan sekadar tindak pidana, ini juga bentuk dominasi kekuasaan atas tubuh manusia lain,” ujar Kirana Larasati, aktivis pendamping korban dari Yayasan Pulih.
Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan dan pemulihan yang berkelanjutan bagi korban:
Saatnya Negara Hadir Secara Tegas
Darurat kekerasan seksual bukan sekadar slogan. Ia adalah kenyataan sosial yang menghantui ruang-ruang publik dan privat. Di tengah gelombang digital dan budaya patriarki yang masih kuat, korban tak cukup hanya dibela di atas kertas hukum—mereka perlu rasa aman, keadilan nyata, dan perubahan budaya aparat.
Komnas Perempuan, Kompolnas, dan aktivis masyarakat sipil kini satu suara: jika negara sungguh hadir, maka tak ada tempat lagi bagi predator seksual berbaju kekuasaan.
“UU TPKS bukan sekadar simbol. Ini amanat keadilan. Saatnya ditegakkan.” – Veryanto Sitohang, Komnas Perempuan {Moh Rohman}