“Laptop Rp9,9 Triliun: Bayang-Bayang Skandal di Balik Digitalisasi Sekolah Era Nadiem Makarim”
Proyek pengadaan 1,1 juta laptop di masa pandemi Covid-19 kini menyeret mantan Mendikbud Ristek Nadiem…
Proyek pengadaan 1,1 juta laptop di masa pandemi Covid-19 kini menyeret mantan Mendikbud Ristek Nadiem…
Cibitung, Bekasi – HaluanBeritaRakyat.com | Oleh Mohamad Rohman
Di sebuah gang sempit di RT 002 RW 023, Kelurahan Wanasari, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi—tepat di jantung kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara—hidup seorang ibu muda yang hari-harinya bukan diisi dengan tawa anak-anak, tapi dengan jeritan sunyi dari luka jiwa yang tak pernah disembuhkan.
Namanya Opi Apriani. Usianya baru 28 tahun. Tapi beban yang ditanggungnya seolah tak mengenal belas kasih.
Opi telah setahun lebih menderita gangguan mental. Setiap harinya ia kadang tertawa sendiri, kadang berjalan tanpa arah yang di tuju. Anak pertamanya masih kecil dan belum bersekolah, sementara anak bungsunya bahkan masih menyusui. Tapi, ia tak lagi mampu menyusui. Bukan karena fisiknya lemah, tapi karena jiwanya sedang hancur pelan-pelan.
Ketika Pengangguran Menghancurkan Sebuah Keluarga
Suami Opi, Hendra (31), sudah lama menganggur. Dulu ia buruh harian di pabrik. Kini, ia hanya buruh dari nasibnya sendiri. Puluhan lamaran kerja dikirim, tapi selalu mentok di usia. “Katanya saya sudah lewat usia produktif. Padahal saya masih kuat,” ujar Hendra lirih, menatap anaknya yang lapar dan tak tahu apa-apa.
Ironi mencakar wajah kenyataan. Bekasi disebut kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara, tapi seorang warga lokal yang ingin bekerja malah tersingkir hanya karena umur. Tak ada lowongan. Tak ada panggilan. Tak ada harapan.
Dan karena Hendra tak bekerja, BPJS Kesehatan keluarganya pun tak bisa dibayar. Itulah sebabnya Opi tak pernah mendapatkan pengobatan.
Gangguan jiwanya memburuk setiap minggu, hingga kini ia nyaris tak bisa berkomunikasi normal dengan siapapun. Dan di tengah semua itu, dua anak kecilnya terus tumbuh dalam kekosongan kasih ibu.
Makan Hari Ini? Tergantung Kios Kosong di Pasar
Untuk makan sehari-hari, keluarga Hendra menggantungkan hidup pada orang tuanya, yang hanya pedagang kecil di Pasar Induk Cibitung. Tapi bukan pedagang tetap. Hanya pedagang “ngeteng”—yang baru bisa berdagang jika ada kios kosong, karena pemiliknya sedang libur.
Jika tak ada kios yang kosong, maka tak ada penghasilan. Maka tak ada nasi. Maka anak-anak tidur lapar.
Hendra sendiri ingin sekali berdagang. “Jualan apun saya mau, yang penting halal. Tapi dari mana modalnya? Untuk makan saja kami numpang dari orang tua,” ujarnya sambil menggendong anaknya yang rewel karena haus ASI yang tak kunjung datang.
Ketika Harapan Datang Mengetuk Pintu yang Hampir Ambruk
Tepat pada 20 Juni 2025, cahaya itu datang.
Tim Rumah Peduli Kemanusiaan, yang dipimpin Novi Pratiwi, datang langsung ke rumah Opi Apriani. Novi bukan nama asing bagi banyak orang. Ia dikenal karena dedikasinya membantu orang dengan gangguan jiwa, bahkan saat negara sendiri pun tak hadir.
Setelah berdialog langsung dengan keluarga, Novi dan timnya memutuskan untuk membawa Opi ke rumah sakit lebih dulu, lalu ke rumah pemulihan yayasannya. Sebuah langkah nyata, bukan sekadar janji belaka.
“Saya lihat anak-anaknya masih kecil. Salah satunya masih menyusui. Tapi ibunya tidak bisa memberi ASI karena harus ikut berobat ke rumah peduli kemanusiaan. dengan terpaksa harus meninggalkan anak yang masih Balita.Ini tak bisa dibiarkan. Kami harus ambil tindakan cepat,” kata Novi dengan mata yang berkaca.
Kita Bukan Bicara Satu Keluarga. Kita Bicara Cermin Bangsa
Kisah Opi Apriani bukan sekadar potret keluarga malang. Ini adalah cermin retak dari wajah kita sebagai bangsa. Bahwa di tengah gemerlap pembangunan, masih banyak warga yang tak bisa makan, bekerja, apalagi berobat.
Gangguan mental sering dianggap aib. Padahal itu penyakit yang bisa disembuhkan, jika kita punya cukup empati dan keberpihakan.
Opi tak butuh dikasihani. Hendra tak minta uang. Mereka hanya ingin satu: kesempatan hidup layak.
Epilog: Mengetuk Nurani Kita
Di luar rumah Opi, suara mesin pabrik masih bergemuruh. Jalan-jalan dipenuhi truk-truk pengangkut barang ekspor. Tapi di balik dinding itu, seorang anak menangis minta susu, dan seorang ibu duduk diam di sudut, tersesat dalam pikirannya sendiri.
Apakah kita masih bisa menutup mata?