“Papua Bukan Mainan: Ketika Australia Lupa Batas, Indonesia Menjawab dengan Harga Diri”

Minggu, 11 Mei 2025 07:00:37

Pendidikan

Pihak Sekolah Dukung Kebijakan Pemprov Jabar, Murid Kecewa Study Tour yang Dinanti-Nanti Dibatalkan

haluanberitarakyat.com Bekasi, 28 April 2025 – Viralnya video protes orang tua murid terkait pengembalian uang…

BERITA FEATURE INVESTIGATIF | GEOPOLITIK DAN KEDAULATAN

Oleh Redaksi Investigasi HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman

JAKARTA, 11 Mei 2025 – Di bawah langit kelabu Papua, suara bising pesawat intai dan frekuensi radio asing menyusup sunyi. Di pegunungan tengah, drone TNI menangkap sinyal tersamar—gelombang komunikasi asing berpindah-pindah, bersembunyi di balik kata ‘kemanusiaan’. Ini bukan latihan biasa. Ini adalah alarm bagi Indonesia. Dan jawabannya hanya satu: Kami tidak akan mundur.

Langkah kaki asing kembali menapaki tanah yang telah sah sebagai bagian dari Republik Indonesia. Kali ini, Australia menjadi sorotan. Dalam diam mereka bergerak, dalam senyap mereka menyusup. Peralatan logistik non-lazim dibawa oleh pekerja kemanusiaan yang menyamar. Di perbatasan dengan Papua Nugini, kapal militer kita telah membentuk pola penguncian. Karena sejarah sudah mengajarkan satu hal: jika kita lengah, harga yang dibayar adalah kehormatan bangsa.

Peta Papua kini bukan lagi sekadar kontur dan jalan, tapi titik-titik merah yang menandai aktivitas intelijen asing yang makin intensif. Di meja-meja rapat terbatas Jakarta, hal ini tak lagi dibahas sebagai diplomasi. Ini sudah masuk kategori ancaman kedaulatan.

Australia mencoba bermain dua wajah—di satu sisi berdiplomasi, di sisi lain membiarkan politisinya menyuarakan referendum Papua. Organisasi pro-OPM tumbuh subur di Sydney dan Melbourne. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di tanah asing, seolah Papua bisa dinegosiasikan. Seolah Indonesia diam.

Tapi Indonesia tak pernah diam.

Kementerian Luar Negeri memanggil pulang Duta Besar di Canberra. Di forum internasional, delegasi RI bersuara: “Papua adalah Indonesia. Titik.” Rusia tak tinggal diam. Mereka lantang memperingatkan, “Jangan ulangi kesalahan Timor Leste.” Sebuah pernyataan yang menggema ke seluruh Asia Tenggara.

Dan sejarah memang terulang dengan pola yang mirip: propaganda media Barat, tekanan isu HAM, bantuan kemanusiaan yang dimanipulasi jadi kendaraan intelijen. Tapi kali ini Indonesia tidak sendirian. Rusia dan Tiongkok berdiri di belakang. Tidak dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata: latihan militer bersama, dukungan intelijen, dan dukungan opini publik global melalui media alternatif seperti Sputnik dan Russia Today.

Papua Bukan Kartu Tawar

Dalam kampanye internasional, Indonesia kerap dijadikan bulan-bulanan. Isu HAM di Papua dipelintir, narasi separatis dijual sebagai hak menentukan nasib. Tapi data PBB menunjukkan: lebih dari 90% warga Papua ingin tetap bersama Indonesia. Mereka tak terlibat gerakan separatis. Mereka ingin hidup damai dan sejahtera dalam bingkai NKRI. Tapi suara mereka tenggelam di antara teriakan nyaring dari luar negeri.

Rakyat Papua dibangun dengan jembatan, rumah sakit, sekolah, dan jalan Trans Papua. Tapi dunia luar hanya menyorot konflik, bukan kemajuan. Mereka memilih melihat luka, bukan penyembuhan.

Australia: Mengulang Luka, Memantik Bara

Kecurigaan bahwa Canberra memainkan peran ganda makin kuat ketika parlemen Australia mulai disesaki suara-suara pro-referendum Papua. Pemerintah mereka memberi tanggapan normatif, tetapi di lapangan, fakta berbicara sebaliknya. Intelijen Indonesia menangkap jejak penyusupan personel non-pemerintah Australia yang membawa alat komunikasi dan logistik tidak standar. Di laut Arafura, patroli TNI AL menyapu dengan pola zigzag. Ini bukan deteksi. Ini penguncian.

Sementara itu, seorang tokoh OPM yang buron tiba-tiba muncul dan mengklaim akan menerima “dukungan internasional.” Tidak disebutkan dari mana, tapi media Barat langsung mengangkat narasi itu. Ada yang menggiring opini. Ada yang sedang menyiapkan panggung.

Geopolitik di Ambang Letupan

Jika konflik meletus, bukan hanya Indonesia dan Australia yang akan terlibat. Ini akan menjadi panggung benturan pengaruh global. Rusia dan Tiongkok di satu sisi, Barat di sisi lain. Di balik semua ini ada tarikan geopolitik dan geoekonomi yang jauh lebih dalam—tentang gas, tambang, dan posisi strategis Pasifik Selatan.

Indonesia sadar, ini bukan sekadar isu dalam negeri. Ini adalah ujian eksistensial. Maka unit elite TNI dikerahkan. Tidak untuk menyerang, tapi untuk siap. Karena Indonesia memilih jalan damai, tapi tidak akan membiarkan satu jengkal pun kedaulatannya disentuh.

Harga Diri Bangsa Bukan Bahan Tawar-Menawar

Langit Papua bukan sekadar mendung karena cuaca. Ia mendung karena kepentingan. Tapi Indonesia tidak akan gentar. Dalam setiap kepala prajurit, dalam setiap diplomasi yang disusun, dan dalam setiap rakyat Papua yang membangun dengan tangannya sendiri—terpatri satu pesan: Papua adalah Indonesia. Bukan mainan geopolitik. Bukan eksperimen kolonial baru.

Dan jika ada yang nekat membuka luka lama, maka bangsa ini akan melawan. Dengan semua yang dimiliki, dan dengan semua yang diyakini. Karena kedaulatan, bukan sekadar klaim. Itu sumpah.

 

banner-website