Pendidikan yang Tersandera: Ketika Mimpi Anak Miskin Ditukar dengan Tagihan
Salah satu siswa SMK di Sleman membuat surat terbuka untuk Gubernur DIY terkait putus sekolah…
Salah satu siswa SMK di Sleman membuat surat terbuka untuk Gubernur DIY terkait putus sekolah…
Salah satu siswa SMK di Sleman membuat surat terbuka untuk Gubernur DIY terkait putus sekolah karena belum bayar SPP. (Sumber: Tangkap Layar TikTok/@rizna_77)
🖋️ Oleh: Moh. Rohman | HaluanBeritaRakyat.com
Yogyakarta – Di ruang sempit beralaskan tikar lusuh di Sleman, seorang anak bernama KS menatap buku pelajaran yang kini hanya menjadi kenangan. Ia tidak diperkenankan mengikuti ujian akhir hanya karena tidak memiliki kartu ujian. Alasannya satu: ia menunggak SPP selama tiga tahun.“Saya sudah belajar keras. Tapi saat masuk kelas, saya disuruh keluar. Saya hanya ingin ikut ujian, saya hanya ingin lulus,” tutur KS lirih dalam video yang kini menyentuh jutaan hati netizen.
Dengan suara bergetar, KS membacakan surat terbuka kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwana X. Isinya, permohonan sederhana agar diizinkan bersekolah dan mendapatkan ijazahnya. Namun, kisah KS bukanlah satu-satunya..
Sekolah Swasta: Antara Ideal Pendidikan dan Realitas Komersialisasi
Ironi menyakitkan menyelimuti dinding-dinding sekolah swasta. Di balik papan nama bertuliskan “Mendidik dengan Hati” dan foto-foto wisuda megah, tersembunyi realitas suram: anak miskin tersingkir, karena tak sanggup bayar.
“Kami disuruh beli seragam dari koperasi sekolah, buku wajib, bayar acara ini-itu. Anak kami punya KIP, tapi tetap tidak bisa ikut ujian kalau telat bayar,” ujar seorang orang tua siswa di SD swasta .
Dengan pungutan uang pangkal hingga Rp15 juta dan SPP ratusan ribu per bulan, banyak sekolah swasta kini menjelma menjadi korporasi pendidikan. Bagi anak-anak seperti KS, pendidikan bukan lagi hak, melainkan hak istimewa—untuk yang mampu.
Negara: Datang Terlambat, Pergi Terlalu Cepat
Dalam konstitusi dan undang-undang, negara menjamin pendidikan dasar dan menengah sebagai hak warga negara. Tapi di lapangan, peran negara kerap absen saat rakyat kecil dipinggirkan dari ruang belajar.
Permendikbud No. 44 Tahun 2012 dan UU No. 20 Tahun 2003 telah dengan jelas menyatakan bahwa siswa tidak boleh dipaksa keluar atau tidak diikutsertakan dalam ujian hanya karena alasan ekonomi.
Namun saat KS dan ribuan siswa lain mengalami itu, negara nyaris tak bersuara.
“Kami hanya bisa memberi imbauan. Soal izin operasional, kebijakan sepenuhnya berada di tangan yayasan,” ujar seorang pejabat Dinas Pendidikan Kota Bandung.
Pernyataan ini menjadi bukti pahit betapa negara kehilangan kendali atas pendidikan swasta. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah seperti tak berdaya menghadapi yayasan—yang seharusnya tunduk pada hukum, bukan menjadi penguasa mutlak atas nasib siswa.
Regulasi Ada, Tapi Tidak Bertaji
Pasal 31 UUD 1945, UU Perlindungan Anak No. 35/2014, dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 sebenarnya memberi ruang perlindungan bagi siswa. Namun tidak ada sanksi tegas yang mengikat sekolah swasta yang melanggar prinsip keadilan pendidikan.
“Negara ini tidak kekurangan regulasi, tapi kekurangan keberanian menegakkan keadilan,” ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.
Kementerian Pendidikan, kata Ubaid, seharusnya berani mempublikasikan sekolah-sekolah swasta yang melanggar hak siswa. Namun selama ini, sanksi administratif jarang diberlakukan, dan sekolah tetap bisa beroperasi meski telah mencederai prinsip dasar pendidikan.
Negara Harus Hadir, Bukan Hanya Saat Viral
Pemerintah kerap baru bertindak setelah kasus mencuat di media sosial. Dalam kasus KS, Dinas Pendidikan Sleman akhirnya turun tangan setelah video surat terbuka kepada gubernur viral.
“Ini bukan sekadar insiden. Ini gejala sistemik dari lemahnya kontrol negara atas pendidikan,” tegas Komisioner KPAI, Retno Listyarti.
Retno menegaskan bahwa negara harus menetapkan mekanisme pengawasan proaktif terhadap sekolah swasta—termasuk audit berkala, keharusan laporan keuangan transparan, dan ruang pengaduan yang berpihak kepada siswa dan orang tua.
Garda Terakhir: Kita Semua
Saat negara lalai, media, masyarakat sipil, dan publiklah yang menjadi benteng terakhir melindungi hak anak-anak miskin.
“Kalau pendidikan diserahkan ke pasar, maka anak miskin akan terus tertinggal. Kita harus bersuara, karena diam sama dengan membiarkan ketidakadilan,” ujar Redaktur Pelaksana HaluanBeritaRakyat.com.
📌 Catatan Redaksi: Ini Tindakan yang Bisa Kita Lakukan
Karena pendidikan adalah hak konstitusional, bukan fasilitas komersial. Jika negara tidak hadir, maka kita semua harus hadir.