Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh : Mohamad Rohman, Redaksi haluan berita rakyat.com | Rubrik: Hukum & Transformasi Sosial
JAKARTA – Di tengah tantangan overcrowding, peredaran narkoba, dan keterbatasan sumber daya di balik tembok lembaga pemasyarakatan, hadir sebuah percikan harapan: akselerasi reformasi Pemasyarakatan. Dalam momentum Tasyakuran Hari Bakti Pemasyarakatan ke-61, Senin (28/4), Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menimipas), Agus Andrianto, menyerukan penguatan nyata atas program akselerasi yang telah dirancang sebagai peta jalan menuju Pemasyarakatan yang lebih bermartabat, produktif, dan manusiawi.
Dialog interaktif yang berlangsung secara virtual bersama para kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) ini bukan sekadar seremoni. Di dalamnya, Menteri Agus menyuarakan hal yang substansial: transformasi sistem Pemasyarakatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi memerlukan kolaborasi lintas sektor dan pemberdayaan warga binaan sebagai pelaku perubahan.
“Banyak peluang dan potensi yang bisa kita dorong menjadi kekuatan dalam membangun ketahanan pangan di Pemasyarakatan,” ujar Agus. Ia menekankan pentingnya optimalisasi lahan-lahan tidur di Lapas dan Rutan untuk mendukung program ketahanan pangan nasional yang sejalan dengan Asta Cita Presiden RI dan visi Indonesia Emas 2045.
Sejak diluncurkannya program akselerasi 13 poin oleh Ditjenpas, pemanfaatan lahan pertanian di lingkungan Lapas/Rutan mulai menunjukkan geliat baru. Di Nusakambangan, misalnya, lahan pertanian eksklusif kini menjadi bagian dari pelatihan vokasional bagi warga binaan, mencetak “petani tangguh” yang siap kembali ke masyarakat dengan keterampilan nyata.
Agus menggarisbawahi bahwa Pemasyarakatan bukan sekadar menjalankan fungsi pembinaan, tapi juga harus menjadi aktor strategis dalam menghadapi tantangan global, termasuk krisis pangan dan kompetisi kerja pasca-pembebasan.
“Kita harus berani membimbing warga binaan agar mereka tak hanya sekadar bebas, tetapi siap bersaing di dunia kerja. Kemandirian ekonomi pasca-lapas adalah indikator keberhasilan rehabilitasi,” tegasnya.
Namun, upaya tersebut tidak berjalan tanpa hambatan. Menimipas mengakui bahwa permasalahan klasik seperti overcrowding, penyalahgunaan handphone, dan peredaran narkoba di dalam Lapas/Rutan masih menjadi batu sandungan serius. Dalam konteks ini, Agus mendorong penguatan sinergi antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan seluruh stakeholder untuk memecahkan masalah secara kolektif.
“Kolaborasi antara Pemasyarakatan, APH, dan Forkopimda adalah kunci. Kita tidak bisa membenahi Pemasyarakatan sendirian. Ini perjuangan sistemik,” kata Agus dalam forum yang diikuti ratusan petugas pemasyarakatan dari seluruh Indonesia.
Memasuki usia ke-61, Pemasyarakatan di Indonesia memasuki fase kontemplatif. Agus menyebut, transformasi bukan hanya perubahan fisik atau struktural, melainkan perubahan paradigma—dari pembalasan menjadi pembinaan, dari stigma menjadi harapan.
“Pemasyarakatan yang manusiawi bukan berarti lunak terhadap pelanggaran, tetapi memberi ruang bagi pertobatan dan produktivitas,” ujar Agus menutup arahannya.
Feature ini mengajak publik untuk melihat sisi lain dari sistem pemasyarakatan: sebagai ladang rehabilitasi sosial, bukan hanya penahanan fisik. Ketika sinergi, pemberdayaan, dan inovasi berjalan serentak, maka Pemasyarakatan bisa menjadi tulang punggung transformasi sosial menuju Indonesia Emas 2045.