Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Redaksi Haluanberitarakyat.com | Mohamd Rohman
Jakarta, 27 Mei 2025 — Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes/Kel) mendapat dukungan penuh dari Komisi VI DPR RI. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Jakarta, DPR menekankan pentingnya transparansi, partisipasi masyarakat, dan penguatan kelembagaan koperasi sebagai kunci sukses program ini.
Bukan sekadar program formalitas, Kopdes Merah Putih digadang-gadang menjadi institusi ekonomi lokal milik warga desa, yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat hingga ke akar rumput. Dalam pandangan Komisi VI, indikator keberhasilan tak lagi sekadar angka pendirian koperasi, tapi sejauh mana koperasi mampu hidup, tumbuh, dan menjadi penggerak ekonomi desa secara nyata.
“Koperasi desa bukan hanya program pemerintah, tapi harus menjadi gerakan ekonomi rakyat yang tumbuh dari bawah, dimiliki masyarakat, dan dijalankan oleh mereka sendiri,” tegas Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid.
Dalam kesempatan itu, Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi menjelaskan bahwa Kopdes/Kel Merah Putih tidak akan tumpang tindih dengan BUMDes. BUMDes adalah milik pemerintah desa, sementara Kopdes adalah milik warga desa. Tujuannya pun berbeda namun saling melengkapi—Kopdes lebih diarahkan menjadi pusat produksi, distribusi, dan industri ekonomi desa.
“Kita ingin desa bukan hanya jadi konsumen, tapi produsen ekonomi nasional. Kopdes harus jadi pusat distribusi dan produksi masyarakat,” jelas Menkop.
Komisi VI menekankan bahwa pendekatan pembangunan Kopdes tidak boleh top-down, melainkan harus partisipatif. Masyarakat desa perlu diberikan edukasi dan penguatan kapasitas agar koperasi benar-benar menjadi milik mereka, bukan hanya program titipan pemerintah pusat.
“Keberhasilan tidak diukur dari jumlah koperasi yang terbentuk, tapi dari fungsi nyata dan profesionalisme koperasi dalam melayani warga,” imbuh Nurdin.
Menkop menyampaikan, saat ini sedang dibentuk 80 Kopdes/Kel percontohan untuk menguji berbagai model bisnis sesuai karakteristik desa masing-masing. Soal pendanaan, plafon kredit disiapkan minimal Rp3 miliar, tergantung proposal bisnis dari setiap Kopdes. Skema pembiayaan sedang digodok bersama Kemenkeu, BI, Danantara, dan KemenBUMN.
Dengan anggaran besar dan semangat tinggi, baik DPR maupun Kemenkop sepakat: program ini tak boleh gagal karena salah kelola. Risiko penyimpangan harus dimitigasi sedini mungkin. Transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat utama yang tak bisa ditawar.
Kopdes juga diharapkan bisa melayani kelompok rentan di desa—seperti petani kecil, nelayan, pelaku UMKM, hingga penyediaan layanan sembako murah dan akses kesehatan dasar melalui gerai Kopdes.
Komisi VI menegaskan bahwa Kopdes Merah Putih tidak boleh terus bergantung pada intervensi dan subsidi pemerintah. Harus ada upaya menjadikan lembaga ini berdaya secara mandiri dan dipercaya masyarakat sebagai bagian dari sistem ekonomi desa yang sehat.
“Kita harus jaga kredibilitas program ini bersama-sama. Ini bukan proyek biasa, tapi cikal bakal kemandirian desa,” tandas Budi Arie.
Sebagai penutup, Komisi VI DPR RI juga merekomendasikan agar status Kementerian Koperasi dan UKM diperkuat menjadi prioritas utama pemerintahan 2024–2029, demi menyukseskan gerakan koperasi nasional berbasis desa.