Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan ke kediaman Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), di Sumber, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, pada Minggu, 20 Juli 2025. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
Oleh: Paras | Editor: Mohamad Rohman | HaluanBeritaRakyat.com
Surakarta, 20 Juli 2025 — Hari Minggu biasanya menjadi waktu istirahat bagi banyak orang di Eropa. Tetapi tidak bagi dua pemimpin tertinggi Uni Eropa dan seorang raja. Pada hari libur yang sakral itu, mereka memilih membuka pintu istana dan markas tinggi lembaga regional untuk menyambut seorang tamu dari Timur: Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
“Bagi saya ini kehormatan besar bagi Indonesia. Diterima pada hari Minggu oleh para pemimpin Eropa Barat — itu luar biasa. Hari Minggu bagi mereka adalah hari keluarga, hari ibadah. Tapi mereka mau terima saya, artinya Indonesia sangat dihormati,” ujar Presiden Prabowo usai bersilaturahmi dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, di kediamannya di Sumber, Surakarta.
Kunjungan kerja Presiden Prabowo ke markas Uni Eropa di Brussel dan pertemuan dengan Raja Belgia, Philippe, menandai babak baru hubungan diplomatik Indonesia-Eropa. Presiden diterima langsung oleh Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dan Presiden Dewan Eropa, António Costa. Pertemuan dilakukan hari Minggu—hari yang biasanya sunyi dari agenda kenegaraan di Eropa.
Tak hanya itu, Raja Philippe dari Belgia secara khusus kembali ke Brussel dari luar kota untuk menyambut Presiden Prabowo di istana kerajaannya.
“Saya merasa ini bukan sekadar diplomasi biasa, tapi sinyal bahwa Indonesia kini berdiri sejajar dengan negara-negara besar di dunia,” tutur Prabowo penuh keyakinan.
Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo juga menjelaskan strategi diplomasi Indonesia yang kini menganut prinsip “netral aktif dan produktif.” Indonesia, katanya, tak berpihak pada blok manapun, namun hadir dan diterima di semua blok: dari BRICS, OECD, CPTPP, hingga IPEF.
“Kita ikut BRICS, ya. Karena ada kepentingan ekonomi kita di situ. Tapi kita juga mendaftar ke OECD, ke CPTPP, ke IPEF. Artinya, kita terbuka. Kita sahabat semua pihak,” jelas Prabowo.
Pernyataan ini sejalan dengan prinsip lama politik luar negeri Indonesia: bebas aktif, namun kini diberi wajah baru oleh Presiden Prabowo — bukan hanya bebas, tetapi juga dihormati dan strategis.
Satu hal yang menarik dari pendekatan Presiden Prabowo adalah pentingnya diplomasi personal dalam membangun kepercayaan antarnegara. Dalam berbagai pertemuan, termasuk dengan Raja Belgia, Presiden menunjukkan bahwa sentuhan personal dan sikap hormat justru membuka banyak pintu yang selama ini mungkin tertutup oleh protokol.
“Hubungan antarpemimpin itu penting. Kepercayaan dibangun bukan hanya lewat kebijakan, tapi juga lewat gestur, ketulusan, dan sikap saling menghargai,” ungkapnya.
Kehadiran Indonesia di berbagai forum global menunjukkan arah baru kebijakan luar negeri: dari negara berkembang yang reaktif menjadi negara besar yang proaktif dan dihormati. Dalam tatanan dunia yang kian multipolar, Indonesia kini tampil bukan sebagai penonton, tapi sebagai penentu arah.
“Indonesia tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain, tapi kita ingin bersahabat dengan semua. Dan itu diterima dunia,” pungkas Presiden.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Eropa dan penerimaan hangat yang ia terima bukan hanya peristiwa diplomatik biasa. Ia adalah simbol kembalinya Indonesia sebagai aktor strategis yang disegani di panggung global. Di tengah geopolitik yang terpolarisasi, Indonesia menawarkan jalan tengah: kekuatan moral, netralitas aktif, dan keterbukaan terhadap kerja sama multilateral.
Bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia tak hanya menjadi tuan rumah forum-forum global, tapi juga penjembatan utama konflik dunia — sebuah posisi yang dahulu diperankan Bung Karno dalam Konferensi Asia-Afrika, kini dihidupkan kembali dalam wajah baru oleh Prabowo Subianto.