Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Dalam forum pencegahan korupsi nasional bersama KPK, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menguliti borok sistemik birokrasi, budaya permisif DPRD, tekanan pada kepala desa, dan pentingnya keterbukaan anggaran publik secara digital.
Jakarta, 10 Juli 2025 – HaluanBeritaRakyat.com
Laporan Khusus Mohamad Rohman
Ketika banyak pejabat memilih aman dengan basa-basi protokoler, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tampil berbeda. Dalam Forum Strategis Nasional Pencegahan Korupsi yang dihadiri KPK, gubernur lintas provinsi, dan pimpinan DPRD, ia justru menyampaikan pidato yang membongkar habis wajah kelam birokrasi dan politik anggaran di Indonesia.
“Korupsi bukan cuma soal nyolong uang negara. Yang lebih berbahaya adalah korupsi kultural — yang dianggap legal tapi nyatanya merugikan rakyat,” tegas Dedi dengan gaya blak-blakan yang khas, disambut senyap hening di ruangan.
Dengan nada lugas, Dedi mengkritik borosnya anggaran DPRD yang tak berdampak langsung pada pembangunan. Perjalanan dinas dijadikan pelarian atas minimnya kesejahteraan pejabat daerah, kata Dedi, sehingga anggaran habis bukan untuk rakyat, melainkan untuk tiket pesawat, hotel, dan “uang tikumpe”.
“Anggota DPRD keluar kota, tujuh orang ikut. Tujuh tiket, tujuh hotel. Output-nya? Tipis. Tapi harus dilakukan karena gaji kecil. Ini kompensasi terselubung,” ujarnya lantang.
Kritik juga mengarah ke tubuh birokrasi yang disebutnya “tumbuh ke samping, bukan ke depan”. Banyak pejabat struktural dipertahankan demi sistem kepangkatan, bukan demi pelayanan.
“Tukin sekarang pakai foto, pakai video. Tapi rakyat cuma ingin jalan bagus, puskesmas gratis, sekolah gratis. Itu saja,” ucapnya, mengkritik laporan-laporan artifisial birokrat yang jauh dari pelayanan publik.
Dedi Mulyadi membongkar fenomena pemalakan terselubung yang dialami kepala desa oleh oknum berkedok wartawan, LSM, dan ormas gadungan. Budaya menekan demi ‘jatah proyek’ justru subur di desa, membuat dana pembangunan desa bocor sejak awal.
“Setiap hari kepala desa didatangi sepuluh orang. Bawa proposal, ngaku wartawan. Kasih cepek, habis sejuta. Kalau enggak, dilaporin. Ini juga korupsi. Tapi sistemik,” ungkapnya.
Dalam upaya membalik stigma publik terhadap pejabat, Dedi Mulyadi mengusulkan pembukaan total APBD melalui media sosial. Ia menantang daerah-daerah lain untuk memublikasikan anggaran di TikTok, Instagram, bahkan YouTube.
“Semakin ditutup-tutupi, rakyat makin penasaran. Jadi buka saja semua. Tampilkan anggaran daerah di TikTok! Itu baru transparansi,” tantangnya yang disambut gelak dan tepuk tangan.
Dedi menyayangkan lambannya respons kepala daerah saat menghadapi bencana atau darurat sosial karena tidak punya ruang fiskal spontan. Ia mengusulkan adanya dana sosial tunai fleksibel yang bisa dikelola langsung oleh kepala daerah—dengan mekanisme audit ketat BPK dan BPKP.
“Kalau kepala daerah enggak punya dana darurat, mau bantu korban banjir saja bingung. Proposal belum disetujui, rakyat sudah kebanjiran,” kritiknya.
Dedi tak hanya menyalahkan pejabat. Ia menuding budaya masyarakat yang konsumtif, permisif, dan tak efisien sebagai penyokong sistem korup yang terus hidup.
“Jangan cuma ganti gubernur. Rakyat juga harus diganti. Kalau tetap minta proyek, kalah tender lalu lapor KPK, ini negara enggak akan maju,” tandasnya.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menegaskan pidana atas penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Menekankan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Memastikan APBD dan penggunaan anggaran adalah informasi publik.
Permendagri No. 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD)
Mengatur digitalisasi dan keterbukaan pengelolaan anggaran daerah.
Pidato Dedi Mulyadi bukan sekadar wacana, melainkan seruan untuk merevolusi cara berpikir seluruh ekosistem pemerintahan—dari pusat hingga desa, dari pejabat hingga rakyat.
“Tidak ada pejabat yang ingin dipanggil Direktur Penyidikan. Semuanya ingin dipeluk Direktur Pencegahan. Maka cegahlah sejak sekarang, bukan nanti.”
Redaksi: HaluanBeritaRakyat.com
Reporter: Mohamad Rohman
Foto : Tangkapan Layar Kompas TV