Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Redaksi Haluanberitarakyat.com | Mohamad Rohman
JAKARTA — Kamis, 23 Mei 2025 | Laporan Khusus oleh HaluanBeritaRakyat.com
Di balik pintu tertutup Ruang Sidang Kabinet Istana Merdeka, keputusan besar tentang arah masa depan energi Indonesia diketok Presiden Prabowo Subianto. Tak sekadar rapat biasa, pertemuan terbatas ini menjadi babak penting dalam ambisi Indonesia menancapkan kukunya di peta global kendaraan listrik.
Presiden memimpin langsung rapat bersama jajaran kabinet ekonominya, mengesahkan kelanjutan proyek hilirisasi baterai kendaraan listrik senilai 9,8 miliar USD, yang sebelumnya sempat tertunda karena dinamika konsorsium internasional.
Namun sorotan hari itu bukan hanya soal angka. Ini tentang strategi. Ini tentang kedaulatan ekonomi berbasis sumber daya sendiri. Dan lebih dari itu, ini tentang siapa yang mengendalikan masa depan energi dunia: Indonesia, atau tetap menjadi penonton?
Isu keluarnya LG dari konsorsium sempat menjadi rumor yang mengganggu. Namun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan duduk perkaranya secara gamblang. “Itu tidak benar. Justru kita yang putuskan untuk mengganti karena LG terlalu lambat,” tegasnya.
Keputusan strategis itu justru membuka jalan bagi konsorsium asal Tiongkok, Huayou, untuk mengambil alih, dengan satu keunggulan penting: BUMN Indonesia kini menjadi pemegang saham mayoritas di sektor hulu. Ini artinya, kendali sumber daya tetap di tangan bangsa.
Groundbreaking proyek ini sudah di depan mata, dan struktur ekosistemnya dirancang terintegrasi—dari tambang nikel hingga menjadi sel baterai siap pakai.
Tak hanya Huayou. Konsorsium lain, CATL, raksasa baterai dunia asal Tiongkok, juga masuk dalam strategi besar hilirisasi ini. Perbedaannya? Kali ini, Indonesia tak lagi menjadi tempat parkir investasi, melainkan menjadi motor penggerak.
Dengan keterlibatan langsung perusahaan negara seperti Danantara, pendanaan yang selama ini menjadi tantangan, kini menjadi kekuatan. “Dulu pendanaan jadi kendala. Sekarang kita bantu langsung lewat Danantara,” ungkap Rosan Roeslani, Kepala BKPM merangkap Menteri Investasi dan Hilirisasi.
Dalam rapat tersebut, Rosan menggambarkan proyek ini sebagai “green package”, yakni satu ekosistem utuh dari tambang hingga produksi akhir. “Kita tidak hanya jual nikel mentah. Kita kuasai seluruh rantai nilainya,” ucapnya mantap.
Inilah yang disebut sebagai hilirisasi sejati. Bukan hanya memanen sumber daya, tapi mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi—baterai kendaraan listrik—yang menjadi tulang punggung peradaban transportasi masa depan.
Dengan nilai investasi hampir menyentuh 10 miliar USD, proyek ini tak hanya bicara soal profit, tapi juga transformasi ekonomi nasional. Lapangan kerja, teknologi tinggi, dan nilai tambah ekspor akan meningkat signifikan.
“Return-nya luar biasa, penciptaan pekerjaan tinggi, dampak ekonominya sangat besar,” kata Rosan.
Lebih jauh lagi, strategi ini adalah upaya menjaga kedaulatan energi di era transisi global, saat dunia beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan.
Sebagian publik mungkin melihat ini sebagai isu elite. Tapi, kenyataannya, hilirisasi ini akan berdampak langsung pada:
Harga kendaraan listrik yang lebih murah karena komponen baterai diproduksi dalam negeri.
Peningkatan lapangan kerja di daerah penghasil nikel seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Transfer teknologi dan keahlian bagi tenaga kerja Indonesia.
Penguatan cadangan devisa dari ekspor produk hilir berteknologi tinggi.
Rapat terbatas yang digelar Presiden Prabowo bukan hanya soal mengganti konsorsium. Ini adalah pernyataan sikap: Indonesia tidak lagi puas jadi penonton atau tukang gali tambang. Kita ingin menjadi aktor utama di panggung energi dunia.
Dengan kepemimpinan strategis, pengawasan investasi yang ketat, dan keberanian mengambil alih kendali atas sumber daya, Indonesia sedang membangun fondasi kedaulatan energi di era mobil listrik.
Dan ini baru permulaan.
📌 Infografis Pendukung (Usulan untuk Visualisasi)
Judul: “Ekosistem Hilirisasi Baterai EV Indonesia 2025”
Peta alur: Tambang (BUMN) → Pemurnian (Huayou, CATL) → Produksi Sel Baterai → Distribusi ke Industri EV.
Perbandingan Investasi: LG (dibatalkan) vs Huayou (aktif) vs CATL (berjalan).
Target Dampak Ekonomi: Lapangan kerja, ekspor baterai, pengurangan impor EV.