“Dari Gedung Sate ke Pinggir Sungai: Pidato Gubernur yang Menggugat Nurani Negara”

Rabu, 7 Mei 2025 08:11:39

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Ketika suara rakyat tak lagi cukup didengar, Gubernur Jawa Barat menggelar pidato yang menguliti masalah otonomi daerah, kemiskinan, kriminalitas remaja, dan kegagalan sistem fiskal dengan keberanian langka.

Oleh Redaksi HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman

Gedung Sate hari itu tak seperti biasanya. Suara euforia anak-anak muda menggema menembus dinding birokrasi, membonceng kemenangan Persip. Namun di dalam ruang resmi, pidato seorang gubernur berubah menjadi panggung gugatan sosial, ekonomi, bahkan kemanusiaan. “Kantor saya di tempat sampah, di pinggir sungai, di danau,” katanya membuka, disambut decak kagum, gelak kecil, dan kemudian—hening panjang.

Gubernur Jawa Barat, dalam pidatonya yang penuh kelakar namun membakar, mengangkat ironi terbesar dalam sistem pemerintahan kita: kebijakan yang membuncah di atas kertas, namun menumpul di jantung rakyat.

Ketika Negara Absen di Meja Operasi dan Lorong Tawuran

“Sakit itu pintu tercepat menuju kemiskinan,” ucap sang gubernur. Ia tidak sedang bermain retorika. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat, biaya kesehatan menjadi penyebab keempat tertinggi rumah tangga jatuh miskin, terutama di Jawa Barat.

Lebih memilukan lagi ketika tawuran remaja tidak hanya menumpahkan darah, tetapi juga melahirkan generasi gagal. Para pelaku di bawah 18 tahun direkrut secara sistemik oleh gangster, demi lolos dari jerat hukum. “Yang menang miskin, yang kalah juga miskin,” katanya getir. Bahkan klaim BPJS pun ditolak karena status hukum para korban.

Keadilan Fiskal: Mimpi yang Kian Jauh

Gubernur menyebutnya dengan tegas: “Kita butuh keadilan fiskal!”

Dalam pidatonya, ia membongkar problem klasik DPRD—lembaga yang diharapkan menjadi pengawas rakyat, namun tersandera tunjangan kecil dan stigma publik. “Ngomong diomongin. Enggak ngomong juga diomongin. Pokoknya diomongin terus,” sindirnya.

Ia menyebutkan solusi: beri insentif pada produktivitas. Rapat komisi, badan anggaran, bahkan jadwal musyawarah harus diberi honorarium agar anggota DPRD kembali ke fungsi kontrol, bukan hanya ‘perjalanan dinas dan selfie anggaran’.

Paradoks Kemiskinan Wakil Rakyat

Satu bagian pidatonya paling menggelitik sekaligus menyayat:

“Saya ini anggota DPRD pernah ngalamin begitu jadi pinjam bank honornya tinggal sisa Rp5 juta, istri nambah satu lagi.”

Sebuah potret buram bagaimana sistem yang tidak adil justru menciptakan aktor demokrasi yang nyaris lumpuh secara ekonomi dan moral. Di satu sisi rakyat menuntut pelayanan prima, di sisi lain wakil rakyat hidup dalam tekanan sosial yang sering tak terlihat.

Keterbukaan: Kunci yang Lama Hilang

“Ngomonglah apa adanya!” tegasnya. Transparansi fiskal antara pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa harus jadi norma, bukan jargon. Keterbukaan anggaran, pemetaan belanja publik, dan kejujuran birokrasi adalah landasan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.

“Negara harus hadir, bukan hanya pada saat kampanye,” ucapnya, menyinggung sistem yang lebih sering menyalahkan rakyat ketimbang membela mereka.

Narasi yang Menggugah, Aksi yang Ditunggu

Pidato itu ditutup dengan janji: surat akan dikirim kepada Presiden Prabowo, menyuarakan tuntutan peningkatan kinerja melalui keadilan insentif. Namun seperti rakyat yang mendengar orasi politik, kita hanya bisa bertanya: apakah surat itu akan dibaca, atau dibuang ke laci yang penuh retorika?

Epilog: Dari Gunung Sate, Suara Rakyat Bergema

Bukan pidato biasa. Ini adalah manifestasi seorang pemimpin yang melihat rakyatnya bukan dari jendela kantor, tetapi dari selokan, dari danau, dari kamar mayat, dan dari ruang tunggu BPJS.

Saat semua menunduk pada data dan kekuasaan, ia memilih berdiri—meski sendirian—untuk mengatakan bahwa negara ini, masih punya hutang kepada rakyatnya.

banner-website

Viral

Populer