Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh Investigasi – Haluan Berita Rakyat | Mohamad Rohman
Jakarta, 12 Mei 2025 – Di bawah bayang Jembatan Marto, Kemayoran, Jakarta Pusat, dua sosok pria muda tampak sigap membantu mengatur lalu lintas. Namun di balik isyarat tangan dan senyuman, terselip niat lain: memalak.
RH (27) dan AF (31) bukan sekadar ‘Pak Ogah’ yang menawarkan bantuan sukarela bagi pengendara yang hendak berbelok atau menyeberang. Mereka adalah pelaku pemerasan jalanan yang memanfaatkan celah kemacetan dan kelengahan masyarakat untuk meraup uang secara paksa.
Penangkapan keduanya oleh jajaran Polsek Kemayoran pada Sabtu (10/5) menjadi titik terang dari keresahan warga yang selama ini hanya bisa diam atau mengalah di hadapan ancaman jalanan yang membungkus diri dalam baju keramahtamahan.
“Kami tidak akan memberikan ruang bagi para pelaku premanisme. Modus menjadi ‘Pak Ogah’ untuk memalak pengendara sangat meresahkan dan akan kami tindak tegas,” tegas Kapolsek Kemayoran Kompol Agung Ardiansyah kepada wartawan, Senin (12/5/2025).
Barang bukti uang sebesar Rp 35 ribu yang disita mungkin tampak kecil di mata hukum, namun cukup besar untuk menunjukkan bagaimana praktik-praktik kecil yang dibiarkan bisa berkembang menjadi ancaman sosial yang sistemik.
Modus ‘Pak Ogah’ bukan hal baru. Namun dalam lanskap urban Jakarta yang semakin padat dan kompleks, transformasi premanisme turut berubah wujud: dari kekerasan fisik menjadi pemaksaan berkedok bantuan.
“Kami langsung bergerak ke lokasi dan mengamankan dua pelaku,” ujar Kanit Reskrim Polsek Kemayoran Iptu Budi Setiadi. Pihak kepolisian juga membuka penyelidikan terhadap kemungkinan adanya pelaku lain yang menjalankan praktik serupa di wilayah tersebut.
Di balik cerita ini tersimpan potret kelam tentang ruang publik yang kehilangan pengawasan. Warga sekitar Jembatan Marto mengaku sudah lama terganggu oleh ulah ‘Pak Ogah’ dadakan. Namun takut bicara, khawatir dibalas.
“Kalau tidak kasih uang, mereka kadang marah, goyang-goyang spion, bahkan pernah hampir tendang motor saya,” ujar Irwan, seorang pengendara ojek daring yang setiap hari melintasi wilayah itu.
Penangkapan RH dan AF ibarat puncak dari gunung es. Masih banyak ‘Pak Ogah’ lain yang beroperasi dengan impunitas. Pemerintah daerah dan kepolisian perlu mengambil langkah berkelanjutan, bukan hanya reaktif.
Pakar kriminologi dari Universitas Indonesia, Dr. Iqbal Haris, menyebut fenomena ini sebagai bentuk kegagalan tata kelola ruang kota. “Ketika negara gagal menghadirkan ketertiban melalui sistem formal, maka akan muncul aktor-aktor informal yang mengambil peran itu – seringkali dengan cara yang mengancam,” ujarnya.
Sebagian pelaku ‘Pak Ogah’ bukan kriminal murni, melainkan korban dari kemiskinan struktural dan pengangguran. Namun ketika praktik itu menjelma jadi pemalakan sistematis, hukum tak bisa tinggal diam.
RH dan AF kini dijerat Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara. Namun pertanyaan lebih besar tetap menggantung: sampai kapan ruang jalanan kita jadi arena bebas premanisme terselubung?
“Mereka bukan sekadar mengatur jalan – mereka memeras rasa aman kita.”