Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Prabowo Subianto dan Jokowi. Seorang mahasiswi diduga anak ITB ditangkap kara mengunggah foto meme Prabowo dan Jokowi ciuman(Foto tim media Prabowo).
Oleh: Mohamad Rohman, Haluanberitarakyat.com
JAKARTA – Ketika sebuah unggahan “hanya” bertujuan menyentil polarisasi politik, bagi SSS, mahasiswi yang diduga berasal dari Institut Teknologi Bandung, meme bergambar Presiden Prabowo Subianto mencium Joko Widodo berujung penahanan. Pada Jumat (9/5/2025) pukul 11.35 WIB, Bareskrim Polri mengamankan SSS di Jakarta, menegaskan bahwa ekspresi kreatif di jagat maya bisa dipertemukan dengan ancaman pasal kaku UU ITE.
Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, membenarkan penahanan SSS—dikenal dengan inisial tersebut—karena unggahan meme yang dinilai “melanggar kesusilaan”. Meski enggan menyebut kampus secara eksplisit, informasi internal ITB membenarkan SSS tercatat sebagai mahasiswa aktif program Teknik Elektro.
Penyidik menjerat SSS dengan:
Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE (larangan menyebarkan dokumen elektronik berisi muatan tidak senonoh; ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar)
Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) UU ITE (larangan memanipulasi dokumen elektronik agar terkesan asli; ancaman 12 tahun penjara dan/atau denda Rp 12 miliar)
Hingga berita ini diturunkan, konstruksi perkara—termasuk dugaan unsur kesengajaan dan motif pembuatan meme—masih dirinci dalam proses penyidikan.
Dalam era media sosial, meme berfungsi sebagai “bahasa gaul” politik: menyindir, memancing diskusi, atau sekadar hiburan. Aktivis yang enggan di sebut namanya, menyoroti bahwa sindiran digital adalah denyut nadi demokrasi: “Dengan membatasi meme, kita tak hanya mengekang kreativitas, tapi juga suara kritis masyarakat muda.”
Di sisi lain, aparat menegaskan tugasnya menjaga norma kesopanan dan keaslian informasi. Brigjen Trunoyudo menegaskan, “Kami tidak akan ragu menindak unggahan yang melanggar UU ITE, demi melindungi kehormatan pejabat dan ketertiban publik.”
Kabar penahanan SSS mengguncang civitas akademika ITB. Mahasiswa ITB yang tidak mau di sebutkan namanya , mengatakan:
“Kami mendukung upaya penegakan hukum, tapi juga meminta transparansi proses. Apakah ini efek jera atau justru menimbulkan ketakutan berlebih bagi mahasiswa yang ingin mengekspresikan pendapat?”
Beberapa dosen bahkan mengusulkan dibentuknya forum dialog antara kampus dan Kepolisian, untuk merumuskan pedoman berkreasi digital yang beretika namun tidak mengekang kebebasan berpendapat.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menekankan prinsip keadilan, keberimbangan, dan kepentingan publik. Penerapan UU ITE seyogianya memprioritaskan pendalaman maksud dan konteks unggahan, bukan sekadar penindakan reaktif. Jika konteks pendidikan dan diskursus politik jadi korban, sejauh mana kita menghargai hak berekspresi dalam demokrasi digital?
Beberapa langkah ke depan yang dapat dipertimbangkan:
Revisi redaksi pasal kesusilaan agar lebih kontekstual dan tidak multitafsir.
Panduan kolaboratif antara kampus, aparat, dan pakar hukum untuk edukasi media digital.
Mekanisme mediasi konten di bawah payung ombudsman media sosial, sebelum berujung ke proses pidana.
Kasus SSS bukan sekadar soal sebuah meme; ia adalah penanda pergulatan antara kebebasan berpendapat dan batas-batas hukum di ruang digital. Bagi generasi muda yang tumbuh dengan jempol sebagai kuasnya, hasil penanganan kasus ini akan menentukan sejauh mana mereka masih bisa bermain peran sebagai pengawas sosial—atau justru menjadi penonton yang takut melangkah.
Sumber Berita: inews.id