Mahasiswi ITB Ditangkap Gara-gara Meme: Ketika Sindiran Berujung Penjara

Jumat, 9 Mei 2025 07:41:12

Pendidikan

Pihak Sekolah Dukung Kebijakan Pemprov Jabar, Murid Kecewa Study Tour yang Dinanti-Nanti Dibatalkan

haluanberitarakyat.com Bekasi, 28 April 2025 – Viralnya video protes orang tua murid terkait pengembalian uang…

Oleh: Mohamad Rohman, foto gambar ilustrasi pngtree

JAKARTA, haluanberitarakyat.com – Ketika selembar gambar yang seharusnya hanya berisi sindiran untuk mengundang senyum atau pemikiran, bagi SSS, mahasiswi Institut Teknologi Bandung, meme bergambar Presiden Prabowo Subianto mencium Joko Widodo justru berakhir di jeruji besi. Penangkapan SSS pada Jumat (9/5/2025) di kampusnya—berdasarkan laporan Kepolisian—membuka tabir ironi: ungkapan kritik kreatif bertemu pasal-pasal kaku Undang-Undang ITE.

Paradoks Ekspresi Terbungkus Pasal Kaku

Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, menyatakan SSS dijerat:

  • Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE (No. 1/2024), larangan menyebarkan “dokumen elektronik berisi muatan melanggar kesusilaan”, ancaman hingga 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

  • Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) UU ITE, larangan memanipulasi dokumen agar terkesan asli, ancaman hingga 12 tahun penjara dan/atau denda Rp 12 miliar.

Ironisnya, meme SSS sama sekali tak memuat fitnah atau kabar bohong—hanya mempermainkan citra dua tokoh nasional untuk menyentil polarisasi politik. Di mata hukum, itu sudah cukup untuk menjeratnya.

Meme: Jembatan Kritik atau Jeruji Kode?

Di ranah digital, meme sering menjadi saluran teraman untuk menyampaikan kritikan. “Sindiran membuka ruang diskusi,” ujar seorang  aktivis Kebebasan Pers yang enggan di sebut namanya . “Menjerat pembuat meme hanya membuat ruang kritik semakin sempit.”

Polisi menegaskan tindakan tegas ini penting “untuk menjaga kesusilaan dan keaslian dokumen” di dunia maya. Namun, konstruksi perkara yang dipaparkan aparat sama sekali tidak menyinggung nilai edukatif atau urgensi debat publik yang ditimbulkan meme tersebut.

Dilema Kampus: Kreativitas Tercekik

ITB dikenal sebagai poros pemikiran kritis. Penahanan SSS mengguncang civitas akademika. Sejumlah dosen dan mahasiswa tengah merumuskan surat terbuka ke Kapolri, menuntut:

  1. Transparansi proses penyidikan,

  2. Asas proporsionalitas penegakan UU ITE,

  3. Perlindungan kreativitas akademik di kampus.

Paradoks Hukum dan Kebebasan Digital

Indonesia kerap dikritik soal praktik “pasal karet” dalam UU ITE. Frasa multitafsir membuka celah interpretasi aparat. Padahal, Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa kebebasan pers dan berekspresi hanya boleh dibatasi oleh “norma hukum yang jelas dan tegas”. Jika mahasiswa bisa dipidanakan atas sindiran, apa lagi yang tersisa dari demokrasi digital?

Jalan Keluar: Membangun Demokrasi Digital yang Sehat

Kasus SSS menjadi alarm: sejauh mana regulasi mengakomodasi kebebasan berekspresi di era digital? Beberapa langkah perlu dipertimbangkan:

  • Revisi UU ITE untuk merumuskan batasan muatan “melanggar kesusilaan” secara konkret, menghindari multitafsir.

  • Pembentukan Dewan Pengawas Media Sosial, menengahi sengketa konten antara publik dan aparat penegak hukum.

  • Pendidikan Literasi Digital di sekolah dan kampus, menanamkan pemahaman hak-hak pengguna dan konsekuensi hukum berekspresi.

Catatan Akhir: Dari Sindiran ke Suara

Bayangkan jika setiap kritik ringan harus menahan napas takut terjerat hukum. Di tangan legislator dan penegak hukum, kasus SSS adalah ujian karakter demokrasi digital Indonesia. Apakah kita akan membuka ruang bagi mahasiswa—aktor perubahan—untuk terus bersuara, atau menutup palung kreasi mereka di balik pasal-pasal yang mengekang? Jawaban itulah yang akan menentukan irama masa depan kebebasan berpikir dan berbicara di negeri ini.

sumber berita iNews.id
 
banner-website