Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, 28 Februari 2025. Antara/Mohammad Ayudha
Oleh Investigasi HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman
Jakarta – Sebuah nama besar kembali tumbang. PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau Sritex—ikon industri tekstil nasional dan produsen seragam militer lintas negara—resmi dinyatakan pailit. Bukan hanya ribuan pekerjanya yang harus menelan pil pahit pemutusan hubungan kerja, tapi kini publik pun dibuat tercengang oleh fakta baru: Komisaris Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, resmi menjadi tersangka korupsi kredit bank milik negara.
Tangis buruh, kekosongan pabrik, dan pembelian aset mewah menjadi gambaran ironis dari kisah runtuhnya Sritex yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan industri nasional.
Kejatuhan Sritex bukanlah cerita yang datang tiba-tiba. Akar persoalan bermula saat badai pandemi Covid-19 menghantam industri global. Penjualan menurun drastis dari US$ 1,3 miliar (2019) menjadi US$ 847 juta (2020), sementara beban produksi justru meningkat. Di balik layar, utang membengkak. Tahun 2021, Sritex mencatat kerugian mencengangkan senilai US$ 1,08 miliar atau sekitar Rp 15,4 triliun
(sumber: Laporan Keuangan Publikasi BEI & CNBC Indonesia, 2021).
Namun saat publik mengira Sritex sedang bertarung melawan badai, ternyata sebagian petingginya justru diduga menari di atas reruntuhan. Dana pinjaman dari sejumlah bank pemerintah yang seharusnya menjadi “pelampung” bagi kelangsungan usaha malah diselewengkan.
“Dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit untuk modal kerja, tetapi disalahgunakan,”
— Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung
(sumber: Konferensi Pers Kejaksaan Agung RI, 21 Mei 2025 | dikutip dari Kompas.com, 22 Mei 2025)
Menurut Kejagung, dana hasil kredit justru digunakan untuk membayar utang lama Sritex ke pihak ketiga dan membeli aset tak produktif seperti tanah di Solo dan Yogyakarta. Padahal, ribuan buruh dibiarkan menggantung nasibnya tanpa kepastian.
Kasus ini kian pelik ketika penyidik turut menetapkan dua petinggi bank daerah sebagai tersangka: Zainuddin Mappa (eks Dirut Bank DKI) dan Dicky Syahbandinata (eks Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB). Keduanya diduga memberikan kredit jumbo tanpa kajian memadai.
“Pemberian kredit dilakukan secara melawan hukum, tanpa analisis risiko yang patut. Ini kelalaian sistemik,”
— Abdul Qohar, Kejagung
(sumber: Republika.co.id, 22 Mei 2025)
Pertanyaan publik pun menyeruak: bagaimana kredit bernilai besar bisa lolos tanpa analisa menyeluruh? Di mana fungsi kontrol internal perbankan? Dan yang lebih dalam—mengapa pengawasan negara begitu longgar terhadap perusahaan yang nyaris tumbang?
Tragedi tak berhenti pada proses hukum. Pada 1 Maret 2025, Sritex resmi tutup. Sebanyak 10.965 buruh dari lima anak usaha terpaksa diputus hubungan kerjanya. Mulai dari PT Bitratex hingga PT Primayuda, semuanya gulung tikar
(sumber: Tempo.co & Paparan Kurator dalam Rapat Kreditur, Maret 2025).
“Sudah diputuskan tidak ada going concern. Kondisi tidak memungkinkan,”
— Denny Ardiansyah, Kurator Sritex
Runtuhnya Sritex menciptakan efek domino. Ekonomi lokal di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang terpukul. Ribuan keluarga kehilangan sumber nafkah. Pabrik kosong dan mesin berkarat jadi monumen kegagalan tata kelola.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, berjanji pemerintah akan mencarikan pekerjaan baru bagi korban PHK. Namun pertanyaan yang lebih besar tetap bergema: mengapa negara terlambat mencegah kehancuran ini? Mengapa perbankan negara seolah lengah saat mengucurkan dana jumbo pada perusahaan yang nyaris bangkrut?
(sumber: CNNIndonesia.com, 25 Mei 2025)
Kisah Sritex adalah peringatan keras. Tentang betapa mudahnya dana publik dikapitalisasi oleh elite korporat ketika pengawasan lemah. Tentang bagaimana industri strategis bisa tumbang bukan karena kompetisi global, tapi karena korupsi internal.
Iwan Setiawan kini berada di balik jeruji. Tapi publik menuntut lebih dari sekadar penangkapan. Reformasi sistem pemberian kredit, penguatan pengawasan BUMN, hingga transparansi korporasi menjadi keharusan agar tragedi Sritex tak terulang di tempat lain.
Di pabrik yang dulu berdentum, kini hanya sunyi. Tak ada kain, tak ada mesin berputar. Sritex, perusahaan yang lahir dari tangan dingin Muhammad Lukminto, kini berakhir dalam ironi: dari kebanggaan nasional menjadi simbol kegagalan moral dan hukum.
Negara tak boleh diam. Karena setiap rupiah yang diselewengkan bukan hanya soal angka, tapi soal nyawa-nyawa yang kehilangan harapan.
Timeline Kejatuhan Sritex (2020–2025)
Skema Kredit dan Aliran Dana (Bank – Sritex – Aset Pribadi)
Jumlah Karyawan yang Terkena PHK per Anak Usaha
Perbandingan Penjualan dan Beban Produksi (2018–2024)
Proses Hukum: Dari Penangkapan hingga Penetapan Tersangka