Premanisme Pasar Baru Bekasi: Jerat Sunyi Pedagang Kecil

Jumat, 11 April 2025 11:52:02

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Oleh: haluanberitarakyat..com | Reporter: M R | Ilustrasi foto: Gambar digital situasi premanisme di pasar tradisional

“Tolong Pak, diusut untuk premanisme di Pasar Baru samping Ramayana. Kami pedagang sayur kecil sering dimintai 2 ribu atau 5 ribu tergantung permintaan. Kalau tidak dikasih, kami dimarahin, dilarang jualan. Besoknya saya ditandai, tidak bisa jualan lagi di sana.”
— Keluhan seorang pedagang sayur, dalam video viral akun @bekasikinian.


Bekasi, 10 April 2025 — Di tengah hiruk-pikuk ekonomi rakyat yang menggantungkan hidup dari berjualan di pasar tradisional, suara para pedagang kecil kerap tenggelam oleh keheningan yang dipaksakan: ketakutan.

Pasar Baru Bekasi, kawasan yang seharusnya menjadi denyut nadi aktivitas ekonomi rakyat, kini disorot bukan karena geliat usahanya, tetapi karena praktik premanisme yang kembali mencuat ke permukaan. Video yang diunggah akun @bekasikinian dan diberitakan oleh Radar Sumedang menjadi bukti nyata keresahan yang selama ini hanya bergema di lorong-lorong pasar.

Uang “Jatah” atau Dilarang Jualan

Menurut kesaksian dalam video tersebut, para pedagang sayur kecil dipalak oleh oknum yang disebut sebagai preman pasar. Jumlahnya variatif: dari Rp2.000 hingga Rp5.000 per hari. Kedengarannya kecil, tapi bagi para pedagang yang hanya mengantongi keuntungan tipis, pungutan liar ini bukan sekadar angka — ini soal makan hari ini atau tidak.

“Kadang kami baru buka dagangan, belum laku satu pun, sudah dimintai ‘jatah’. Kalau bilang tidak punya, langsung dimarahin. Besoknya saya nggak boleh gelar dagangan. Mereka pakai tangan dan teriak, bikin takut,” ujar pedagang berinisial S (38), yang sudah berdagang di kawasan itu lebih dari lima tahun.

Sunyi yang Terorganisir

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut beberapa sumber lapangan, aksi ini bukan sekadar inisiatif individu. Premanisme di pasar-pasar urban seperti Bekasi disebut-sebut sudah “tersistem”. Ada yang bertugas mengamati, ada yang memungut, dan ada pula yang berfungsi sebagai penanda—siapa yang “patuh” dan siapa yang harus disingkirkan.

Lurah setempat ketika dihubungi mengakui pihaknya sering menerima laporan serupa, namun mengaku kesulitan menangani tanpa bukti kuat. “Kami butuh kerja sama antara pedagang dan aparat. Tapi kami juga paham, banyak dari mereka takut bicara,” katanya.

Rantai Ketakutan dan Ekonomi yang Tercekik

Premanisme bukan sekadar tindak kekerasan atau pemalakan; ini adalah bentuk kekuasaan informal yang menciptakan ekonomi bayangan. Pedagang kecil yang sudah menanggung beban sewa, biaya transportasi, dan barang dagangan, kini harus menyisihkan uang untuk ‘keamanan’ yang tidak mereka minta.

Dalam konteks ini, negara seperti absen. Ketika hukum hanya berpihak pada yang berani melapor, dan tidak melindungi yang memilih diam karena takut, maka pasar tidak lagi menjadi ruang publik—melainkan ruang kuasa.

Suara yang Perlu Didengar

ini bukan hanya tentang sebuah pasar di Bekasi. Ini tentang ratusan pasar di Indonesia yang mungkin mengalami hal serupa. Ini tentang suara-suara kecil yang selama ini dibungkam oleh ketakutan.

Kini, saatnya publik bertanya: sampai kapan pasar tradisional menjadi ladang empuk bagi kekerasan terorganisir? Di mana posisi aparat keamanan? Dan mengapa sistem hukum kita masih belum bisa menjamin rasa aman bagi rakyat yang hanya ingin mencari nafkah secara halal?

Catatan Tambahan:

  • Pemerintah Kota Bekasi diminta bersikap tegas.
  • Perlu penyelidikan terbuka dan partisipatif dari kepolisian.
  • Pedagang kecil perlu wadah advokasi yang nyata.
  • Media lokal dan nasional perlu terus mengawal isu ini.
banner-website

Viral

Populer