Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Tim Investigasi Haluan Berita Rakyat
BANDUNG — Di tengah gegap gempita pembangunan dan transformasi ekonomi nasional, pemerintah menyodorkan satu “senjata sosial-ekonomi” baru: Koperasi Merah Putih. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Pangan, Zulkifli Hasan, mengklaim, per 2 Mei 2025, telah terbentuk 5.200 koperasi dengan nama tersebut, tersebar dari Sabang hingga Merauke.
“Koperasi Merah Putih ini adalah bentuk gotong royong modern. Milik rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat kecil,” ujar Zulhas saat kunjungan kerja di Bandung, Jawa Barat.
Namun, di balik klaim angka yang mengesankan itu, benarkah koperasi ini telah mengakar? Bagaimana dampaknya terhadap pelaku usaha mikro, petani, nelayan, hingga buruh harian
Di Desa Cibadak, Kabupaten Subang, koperasi serupa baru berdiri tiga bulan lalu. Namun menurut Ketua Kelompok Tani Mekar Jaya, Pak Darno (52), koperasi yang mereka ikuti masih “sekadar papan nama.”
“Iya ada koperasinya, tapi belum jalan. Modalnya belum jelas, barang dagang juga belum ada. Katanya nunggu bantuan dari pusat,” ujar Darno.
Hal serupa terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur. Yuliana Tefa, perempuan petani rumput laut dari Rote, mengaku belum tahu apa itu Koperasi Merah Putih.
“Kalau koperasi lama, kami tahu. Tapi Koperasi Merah Putih? Belum pernah dengar,” katanya polos saat dihubungi lewat telepon.
Konsep koperasi sejatinya bukan hal baru di negeri ini. Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), disebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Namun, kegagalan koperasi masa lalu—mulai dari korupsi pengurus hingga pembubaran tanpa pertanggungjawaban—menjadi luka sejarah yang masih terasa.
Pakar Ekonomi Kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Ratri Gunawan, mengatakan:
“Koperasi Merah Putih bisa jadi momentum kebangkitan ekonomi rakyat jika dikelola profesional dan bebas intervensi politik. Tapi jika hanya proyek pencitraan, ia akan bernasib sama seperti koperasi-koperasi ‘asal jadi’ di masa lalu.”
Menurut dokumen internal yang diperoleh tim investigasi, pembentukan koperasi ini melibatkan sejumlah BUMN pangan dan pemodal lokal. Namun, belum ada data transparan mengenai:
Jumlah modal dasar masing-masing koperasi
Skema pembinaan dan pengawasan
Laporan keuangan publik
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Ali Mahsun, mengingatkan:
“Jangan sampai koperasi ini jadi kendaraan elite politik menjelang Pemilu 2029. Rakyat jangan dijadikan alat ekonomi semu.”
Dalam pidato awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto berkomitmen membangun ekonomi rakyat dari desa. Koperasi Merah Putih disebut sebagai perpanjangan tangan negara di lapangan.
Namun, janji harus dibuktikan. Dan seperti kata jurnalis legendaris Roeslan Abdulgani, “kebenaran jurnalistik bukan pada apa yang dikatakan, tapi pada apa yang sesungguhnya terjadi.“
Sebagai media, kami tidak hanya mengutip, tapi memverifikasi. Sebagai rakyat, kita berhak tahu: apakah koperasi ini harapan atau hanya hiasan data?
Jika koperasi adalah benteng ekonomi rakyat, maka keterbukaan, partisipasi, dan pengawasan publik adalah kuncinya. Jika tidak, Koperasi Merah Putih akan tinggal nama—lagi-lagi jadi “kapal kosong berlayar di atas gelombang janji.”
📍 Total terbentuk: 5.200
📍 Jawa: 2.830 koperasi
📍 Sumatera: 1.200 koperasi
📍 Kalimantan & Sulawesi: 700 koperasi
📍 Papua, NTT, Maluku: 470 koperasi
📉 68% belum memiliki kantor operasional tetap
📊 Hanya 12% koperasi aktif berdagang per Mei 2025
📌 Sumber: Kemenko Pangan, Laporan Internal Koperasi Merah Putih, Verifikasi Lapangan HBR. {Mohamad Rohman}