Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Formula baru tarif AS menarget negara dengan defisit dagang, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi.
Negara-negara miskin seperti Madagaskar, Lesotho, dan Kamboja jadi korban terbesar.
Uni Eropa dan negara maju pun terkena tarif tidak proporsional hingga 20%.
Indonesia terkena tarif baru hingga 32%, memukul ekspor dan UMKM berbasis kerajinan, tekstil, dan makanan olahan.
haluanberitarakyat.com – Kebijakan dagang terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bukan sekadar manuver politik, melainkan bom waktu yang menghantam keras negara-negara berkembang—dan menyebar ke jantung perekonomian global.
Dengan formula yang disebut “resiprokal”—yang sebenarnya terdengar adil—Trump justru menciptakan kesenjangan baru. Tarif dihitung berdasarkan defisit perdagangan barang AS dengan negara tertentu, dibagi total ekspor negara itu ke AS, lalu dikalikan 50%. Ada tarif minimum 10%, tak peduli hasil rumusnya.
Hasilnya? Negara miskin yang tidak mampu membeli banyak barang dari AS malah dikenai tarif lebih tinggi—karena angka defisit relatif mereka sangat besar.
Ambil contoh Madagaskar. Negara pulau kecil dengan pendapatan per kapita hanya USD 500 kini dikenai tarif 47% untuk ekspor vanila, tekstil, dan logam ke AS. Lesotho dikenai 50%. Kamboja 49%.
Padahal negara-negara ini menggantungkan pemasukan ekspornya dari pasar Amerika.
“Ini bukan hanya kebijakan dagang. Ini pemiskinan sistematis,” ujar John Denton, Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Internasional (ICC).
Ironisnya, formula ini juga menimbulkan anomali besar bagi mitra dagang utama AS. Uni Eropa terkena tarif 20%—jauh di atas tarif rata-rata WTO yang hanya 5%.
Stefano Berni, Direktur Konsorsium Grana Padano, menyebut hal ini sebagai “kesalahan kolosal”. Keju khas Italia itu kini dikenai biaya masuk tiga kali lipat, sementara keju AS bisa masuk Eropa dengan ongkos jauh lebih murah.
Di antara negara-negara terdampak, Indonesia termasuk salah satu yang terkena pukulan berat. Tarif baru sebesar 32% kini diberlakukan terhadap produk ekspor Indonesia ke AS, terutama:
Tekstil dan garmen
Kerajinan dan furnitur rotan
Makanan olahan, rempah, dan kopi
Produk kayu seperti ukiran dan alat rumah tangga
Menurut BPS, ekspor UMKM Indonesia ke AS tahun lalu mencapai USD 8,2 miliar. Dengan tarif 32%, banyak produk kehilangan daya saing secara instan.
“UMKM kita tidak akan sanggup bersaing. Ini bukan lagi hambatan dagang, tapi ancaman terhadap kelangsungan usaha rakyat,” kata Rina Rachmawati, Ketua Komite UMKM Ekspor Kadin.
Kementerian Perdagangan tengah menyusun strategi perlindungan dan membuka jalur diplomasi lewat ASEAN dan WTO. Para eksportir lokal mulai melirik pasar alternatif: Timur Tengah, Afrika Selatan, hingga Eropa Timur.
Namun peralihan itu tidak instan. Standar teknis dan selera pasar berbeda, dan skala permintaan belum menyamai AS.
“Kalau tarif 32% ini tak berubah, kita bisa kehilangan 30–40% volume ekspor tahun ini,” ungkap Dewi Lestari, eksportir furnitur rotan dari Cirebon.
Banyak ekonom melihat ini bukan sebagai strategi perdagangan, tapi sebagai instrumen politik populis menjelang Pilpres 2026. Mary Lovely dari Peterson Institute menyebut formula ini “menyesatkan secara logika dan tidak ilmiah.”
“Ini seperti mengobati kanker dengan rumus: berat badan dibagi usia. Tidak ada logikanya,” sindirnya.
Stephen Adams, mantan penasihat perdagangan Uni Eropa, menyatakan bahwa formula ini menyulitkan negosiasi. “Jika tidak ada insentif perubahan, bagaimana kita bisa negosiasi?”
Formula tarif Trump menciptakan luka baru dalam peta perdagangan global. Negara miskin kian tercekik, negara maju kehilangan arah, dan negara seperti Indonesia menghadapi ancaman langsung terhadap ekspor, UMKM, dan pekerja informal yang menopang ekonomi nasional.
Ini bukan hanya soal angka atau dagang. Ini soal keadilan. Soal masa depan ekonomi yang inklusif. Dan soal apakah dunia akan membiarkan satu negara menulis ulang aturan main seenaknya.
Gambar Ilustrasi