“Amerika Membara: Rakyat Lawan Trump dan Elon Musk, Dunia Tergetar”

Minggu, 6 April 2025 05:38:09

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Gambar Ilustrasi

“Dari Washington hingga Jakarta, getarannya terasa. Kebijakan proteksionis Trump dan ‘operasi efisiensi’ Elon Musk picu badai sosial-ekonomi lintas negara.”

Haluanberitarakyat.com

**WASHINGTON DC – Sabtu, 5 April 2025, Amerika Serikat bukan lagi sekadar panggung politik. Ia berubah menjadi arena perlawanan. Ribuan warga dari 50 negara bagian serentak turun ke jalan, mengacungkan spanduk bertuliskan: “Hands Off Our Jobs!” dan “Fire Elon Musk Now!”_

Demonstrasi ini menjadi gelombang penolakan terbesar sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2025. Sorotan publik tertuju pada dua sosok: Trump, sang presiden populis, dan Elon Musk, miliarder yang kini menjabat sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah. Nama terakhir itu dituding sebagai arsitek utama pemecatan massal lebih dari 80 ribu pegawai kementerian dan badan federal atas nama “revolusi efisiensi.”

Efisiensi atau Eksekusi Massal?

Kebijakan itu bukan sekadar efisiensi administratif. Ia adalah amputasi struktural terhadap birokrasi negara. Gedung-gedung federal sunyi, meja-meja kosong. Ribuan keluarga kehilangan sumber nafkah. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Musk mencatatkan dirinya sebagai pejabat publik dengan rekor pemecatan terbesar dalam sejarah AS.

“Ini bukan efisiensi. Ini eksekusi ekonomi terhadap rakyatnya sendiri,” kata Linda Rodriguez, mantan pegawai Departemen Pendidikan yang ikut berdemo di National Mall, Washington DC.

Gelombang Tarif, Harga Melonjak

Tak hanya pemecatan. Bara kekecewaan kian membesar saat Trump pada hari yang sama meresmikan kenaikan tarif bea impor dari 10% hingga 50% terhadap berbagai negara. Indonesia menjadi salah satu yang terdampak paling parah—tarif baru sebesar 32% dikenakan atas beragam komoditas ekspor utama seperti tekstil, karet, dan elektronik.

Dampaknya, harga barang-barang impor di AS melonjak tajam. Warga Amerika kini harus membayar dua kali lipat untuk barang-barang kebutuhan rumah tangga buatan luar negeri. Bahkan pelaku usaha lokal mengeluh karena rantai pasok global mereka terganggu.

Dunia Menggigil: Indonesia, Korban Tak Bersalah

Bagi Indonesia, kebijakan ini bukan sekadar perang dagang. Ia menjadi pukulan telak terhadap sektor ekspor dan UMKM yang menggantungkan hidup pada pasar Amerika.

“Dengan tarif 32%, harga produk kita di AS otomatis tidak kompetitif lagi. Ini bisa menghancurkan industri kecil-menengah,” ujar Diana Yuliani, analis ekonomi internasional dari INDEF.

Bank Indonesia memperkirakan potensi kehilangan devisa ekspor mencapai Rp 58 triliun dalam setahun jika kebijakan ini tak direvisi.

Lebih dari Sekadar Tarif: Jaminan Sosial dan Pendidikan Juga Terkapar

Gelombang protes tak hanya soal ekonomi. Massa juga mempersoalkan kebijakan Trump yang dianggap menggerus jaminan sosial, pendidikan, dan hubungan luar negeri.

Pemotongan anggaran Medicare dan Medicaid, penghapusan subsidi pendidikan tinggi, serta retorika anti-aliansi global menjadi simbol kebijakan proteksionis yang dinilai mengisolasi Amerika dari dunia.

“Trump memutus jaringan internasional, mengorbankan warganya demi ilusi kedaulatan,” kata Dr. Claire Thompson, profesor politik global dari Harvard University.

Gedung Putih Merespons: “Kami Lindungi Rakyat”

Meski badai kritik terus mengalir, Gedung Putih bersikeras bahwa kebijakan Trump adalah bagian dari “New American Order”, sebuah agenda kebangkitan industri domestik dan pembaruan sistem pemerintahan.

“Presiden Trump berkomitmen penuh melindungi jaminan sosial seperti Medicare dan Medicaid. Reformasi ini untuk memperkuat fondasi negara, bukan melemahkannya,” demikian pernyataan resmi Gedung Putih.

Namun, suara jalanan berbicara lain. Lebih dari 150 organisasi sipil, serikat pekerja, dan komunitas kampus menyatukan suara: Amerika sedang melukai dirinya sendiri.

Penutup: Rakyat Menjawab, Dunia Menunggu

Apa yang terjadi di Amerika bukan hanya krisis domestik. Ia adalah cermin globalisasi yang retak. Ketika kebijakan dalam negeri satu negara superpower mengguncang stabilitas negara-negara berkembang, pertanyaannya bukan lagi soal siapa salah—tetapi bagaimana dunia merespons.

Dari sudut jalan Washington hingga pelabuhan di Tanjung Priok, gema protes ini terdengar sama: “Kami adalah manusia, bukan angka dalam spreadsheet efisiensi.” [Moh Rohman}

Sumber: Kanal YouTube resmi Kompas.com

banner-website

Viral

Populer