“BUMDes: Asa yang Dikhianati – Benang Merah Kegagalan dan Jerat Korupsi oleh Oknum Aparat”

Sabtu, 5 April 2025 02:02:48

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Oleh: Moh. Rohman

Gambar ilustrasi

haluanberitarakyat.com, Karangtengah, Jawa Tengah – Kala Dana Desa digelontorkan pertama kali pada 2015, gegap gempita pembangunan mulai terasa dari ujung Sabang hingga Merauke. Di tengah semangat itu, lahirlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)—digadang sebagai lumbung ekonomi desa. Sebuah cita-cita luhur: memajukan desa dari desa.

Namun, satu dekade berlalu, cita-cita itu mulai keropos. Di balik rencana usaha, laporan tahunan, dan rapat musyawarah, ternyata tersembunyi praktik busuk: rekayasa laporan, proyek fiktif, dan kolusi.


Modus Operandi: Dari Meja Musyawarah ke Penjara

Salah satu modus paling umum: proyek fiktif. Di Desa Sukamanah, Kecamatan Karangtengah, Kepala Desa diduga menggelapkan dana BUMDes sebesar Rp1,3 miliar. Dalam laporan tahunan, tertulis BUMDes memiliki unit usaha simpan pinjam, kios pertanian, dan pengolahan hasil tani. Namun saat tim penyidik Kejari Cianjur melakukan pengecekan lapangan, semua hanya ada di atas kertas.

“Semua fiktif. Tidak ada toko, tidak ada kegiatan. Tapi laporan keuangan lengkap, bahkan disampaikan dalam musyawarah desa,” ungkap Ahmad Hidayat, tokoh masyarakat yang melaporkan kasus ini pada awal 2024.

Temuan serupa muncul di Desa Berjo, Kabupaten Karanganyar. Laporan keuangan menunjukkan penggunaan anggaran Rp1,16 miliar untuk pengadaan alat pengolahan pertanian. Faktanya, proyek mangkrak, dan dana tak bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dari analisis 127 kasus korupsi BUMDes antara 2015-2024, pola yang muncul berulang kali meliputi:

  • Laporan fiktif (59,83%)

  • Pembangunan di bawah spesifikasi (54,49%)

  • Penyalahgunaan kewenangan (44,1%)

  • Penggelembungan anggaran (39,89%)


Korupsi Sistematis, Harapan Sistemik yang Tergerus

“BUMDes itu jantung ekonomi desa. Kalau jantungnya digerogoti, bagaimana desa bisa hidup sehat?” tegas Ali Fikri, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat dihubungi pada 3 April 2025.

Menurut data dari Kementerian Desa PDTT, hingga Maret 2025 terdapat:

  • 63.906 BUMDes dan BUMDes Bersama

  • 2.188 BUMDes dinyatakan mati suri

  • 1.670 lainnya stagnan, tak menyumbang keuangan desa

Kerugian negara dari praktik korupsi dana BUMDes sejak 2015 hingga 2025 ditaksir mencapai Rp120 miliar, berdasarkan laporan gabungan dari BPKP, ICW, dan Inspektorat Jenderal Kemendesa. Ini belum termasuk potensi kerugian akibat kegagalan usaha karena salah kelola dan lemahnya manajemen.


Jeratan Hukum: Bukan Sekadar Formalitas

Jaksa Agung ST Burhanuddin, dalam konferensi pers pada Februari 2025, menyatakan keras, “Kami tidak akan kompromi. Oknum desa yang menyalahgunakan dana rakyat akan dihukum maksimal.”

Para pelaku bisa dijerat:

  • UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

  • Ancaman pidana: penjara 4–20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar

Hingga kini, Kejaksaan mencatat setidaknya 54 kepala desa dan pengurus BUMDes telah dijatuhi vonis sejak 2018 karena korupsi BUMDes.


Bukti Masih Ada Harapan

Meski dirundung kasus, bukan berarti semua BUMDes gagal.

  • BUMDes Bangun Jaya, Rokan Hulu, Riau: Omzet tahunan Rp3 miliar dari kebun sawit dan simpan pinjam.

  • BUMDes Sejahtera, Bleberan, Gunung Kidul: Pendapatan Rp2 miliar dari jasa wisata air terjun Sri Gethuk.

  • BUMDes Bulan Purnama, Bangli, Bali: Omzet Rp1,6 miliar dari peternakan dan pengolahan pakan ternak.


Warga Desa, Garda Terdepan Pengawasan

Menurut Dr. Lutfiah Rachmawati, pakar desa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), “BUMDes bukan hanya tanggung jawab kepala desa, tapi seluruh warga. Mereka harus tahu berapa dana yang masuk dan ke mana mengalir.”

Kementerian Desa pun kini tengah mendorong platform Desa Digital Terbuka yang mewajibkan laporan keuangan BUMDes dipublikasikan secara daring dan terbuka. Hal ini sejalan dengan semangat transparansi dan partisipasi publik.


Akhir Kata: Waktunya Desa Bangkit, Rakyat Terlibat

Harapan belum mati. Tapi harapan akan tetap jadi utopia jika masyarakat desa tidak ikut mengawal. Sudah saatnya warga desa bangkit: datang ke musyawarah desa, minta laporan pertanggungjawaban, dan berani melaporkan jika ada yang janggal.

BUMDes adalah milik rakyat, bukan celengan aparat. Ketika dana desa dikorupsi, bukan hanya uang yang hilang—tapi masa depan desa pun ikut dikubur.


“Kalau bukan kita yang mengawal, siapa lagi?”

Ahmad Hidayat, tokoh masyarakat Sukamanah


banner-website

Viral

Populer