Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
HaluanberitaRakyat.com | Mohamad Rohman
Jakarta – Suasana santai makan siang Menteri Keuangan bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) berubah menjadi forum diskusi serius. Di sela gurauan soal “bebek goreng enak”, Menteri Keuangan menegaskan pesan penting: kebijakan fiskal dan moneter Indonesia sinkron, selaras, dan tidak saling berlawanan.
“Kadang di luar seolah-olah kebijakan saya dengan BI bertolak belakang. Padahal kami selaras, harmonis,” ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers usai pertemuan tersebut, Jumat (…).
Isu panas muncul ketika pasar diguncang kabar bank-bank milik negara (Himbara) menaikkan bunga deposito dolar hingga 4%. Rumor itu bahkan dikaitkan dengan “tekanan” dari Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan membantah tegas.
“Tidak ada instruksi dari saya. Tidak ada kebijakan menaikkan bunga deposito dolar ke 4%. Itu bukan keputusan Kemenkeu, BI, maupun Danantara. Saya selalu pro-market, mekanisme pasar yang harus berjalan,” tegasnya.
Menurut Menkeu, ide insentif pemilik valas agar membawa pulang dana dari luar negeri memang pernah dibahas di istana, namun masih dalam kajian risiko. Presiden telah memerintahkan tim untuk menghitung ulang potensi dampaknya.
“Kalau bunga dolar tinggi, otomatis orang akan switching dari rupiah ke dolar. Itu justru kontraproduktif. Saya sudah ingatkan sejak awal: risiko harus dihitung,” katanya.
Menteri Keuangan juga memastikan, koordinasi dengan BI berjalan erat. “BI dan kami sama-sama menjaga stabilitas ekonomi. Tujuannya pertumbuhan, bukan mendikte pasar,” jelasnya.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah, lanjut Menkeu, adalah menambah suplai uang agar bunga turun secara alami, bukan dengan intervensi koersif. Logikanya, ketika bunga pinjaman turun, dunia usaha lebih berani berinvestasi. Sebaliknya, pemilik dana akan terdorong membelanjakan uangnya, memicu pertumbuhan.
“Jangka pendek mungkin ada yang merasa rugi karena bunga turun, tapi jangka panjang ekonomi akan berputar, order naik, income naik, semua akan untung. Inilah yang disebut opportunity cost of money,” katanya.
Selain soal rupiah dan bunga, konferensi pers juga menyinggung langkah keras pemerintah memberantas rokok ilegal. Bea Cukai melaporkan penindakan masif di lapangan maupun dunia maya.
Dalam dua minggu terakhir, lebih dari 2 juta batang rokok ilegal berhasil disita di Semarang dan Jakarta, dengan potensi kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
“Penindakan rokok gelap akan lebih masif. Tapi kami juga kasih ruang dengan kawasan industri hasil tembakau. Produsen kecil bisa legal, tetap bayar cukai, tetap menciptakan lapangan kerja,” ujar Menkeu.
Menurutnya, produsen rokok “kecil” pun ternyata bukan benar-benar kecil. “Omzet mereka bisa puluhan hingga ratusan miliar. Jadi harus masuk sistem, bayar pajak dengan fair,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan juga memaparkan proyeksi kenaikan pendapatan negara Rp5,9 triliun pada APBN 2026. Optimalisasi akan datang dari PNBP, Bea Cukai, hingga penegakan hukum di sektor pajak.
“Cukai, pajak, semuanya across the board. Kita tegakkan aturan, hilangkan yang gelap-gelap. Dengan begitu penerimaan meningkat tanpa harus membebani pelaku usaha yang patuh,” jelasnya.
Di akhir, Menkeu menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia solid. Kunci masuknya modal asing bukan pada bunga tinggi, tetapi pada prospek pertumbuhan yang sehat dan kebijakan yang konsisten.
“Modal asing masuk bukan karena bunga, tapi karena prospek ekonomi. Asing sudah mulai masuk, domestik jangan justru ragu. Fondasi kita kuat, BI sinkron, APBN solid. Kita ingin semua tumbuh bersama, kaya bareng-bareng,” pungkasnya.