Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
HaluanberitaRakyat.com | Mohamad Rohman
Bandung Barat – Suasana belajar di sekolah-sekolah Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, berubah mencekam. Jumat siang, puluhan siswa SMA dan SMK tumbang setelah menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Mual, muntah, demam, hingga nyeri ulu hati hebat membuat ruang kelas menjelma ruang darurat.
Ambulans silih berganti mengangkut korban menuju GOR Cipongkor yang mendadak disulap menjadi pos evakuasi. Orang tua datang dengan wajah panik, guru sibuk menenangkan, sementara tenaga medis berusaha menstabilkan kondisi anak-anak dengan obat, infus, dan air kelapa. Namun jumlah korban terus bertambah—mencapai ratusan hanya dalam tiga hari terakhir.
“Anak saya sudah dua kali keracunan. Kami minta hentikan program ini dulu, jangan sampai ada korban lagi,” ujar seorang wali murid dengan nada getir.
Keracunan di Bandung Barat hanyalah potret kecil. Data Koalisi Masyarakat Sipil bersama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat hingga 21 September 2025 terdapat lebih dari 6.400 kasus keracunan terkait MBG di berbagai daerah.
Lima provinsi dengan kasus terbanyak:
Jawa Barat: 2.000+ kasus
DIY: 1.000+ kasus
Jawa Tengah: 700+ kasus
Bengkulu: 500+ kasus
Sulawesi Tengah: 400+ kasus
“Lonjakannya ribuan hanya dalam satu bulan. Kalau ini bukan kejadian luar biasa (KLB), apa lagi namanya?” tegas Ubaid Matraji dari JPPI saat rapat dengan Komisi IX DPR RI.
Menurut Ubaid, kasus yang menyebar di 18 provinsi menunjukkan bahwa masalah bukan sekadar teknis, melainkan kegagalan sistemik Badan Gizi Nasional (BGN) yang mengelola MBG.
Koalisi masyarakat sipil membeberkan tujuh temuan utama:
Guru jadi “tumbal” MBG – dipaksa mengelola distribusi tanpa insentif, bahkan harus mengganti kerugian bila ada makanan hilang.
Conflict of interest – dapur MBG dikuasai oknum politisi, pejabat, bahkan tim sukses. UMKM sekolah sekitar gulung tikar.
Daerah tak dilibatkan – Dinas Pendidikan dan Kesehatan tak pernah diajak mengawasi.
Akuntabilitas gelap – MOU aneh, termasuk larangan melapor ke media bila terjadi keracunan.
Standar gizi bermasalah – menu miskin protein; telur dipotong sampai tujuh bagian.
Hak dan nyawa anak terancam – ribuan siswa keracunan, banyak yang trauma.
Masyarakat sipil disingkirkan – tidak dilibatkan dalam evaluasi maupun quality control.
“Presiden jangan main-main dengan nyawa anak. Orang tua kini takut anaknya makan MBG di sekolah,” ujar Ubaid.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, mendesak evaluasi menyeluruh.
“Jangan sampai niat mulia Presiden justru mencelakakan anak-anak,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menilai MBG tetap penting, tetapi pelaksanaannya amburadul.
“Kalau distribusi dan dapurnya berantakan, lebih baik dihentikan sementara di daerah bermasalah,” ujarnya.
Pakar hukum pidana, Prof. Hibnu Nugroho (UNSUT), mengingatkan risiko pidana:
Pasal 359 KUHP: kelalaian mengakibatkan kematian.
Pasal 360 KUHP: kelalaian mengakibatkan luka berat.
UU Kesehatan No. 36/2009 Pasal 190: pidana 10 tahun bagi pelaku yang mengedarkan makanan tanpa standar.
UU Perlindungan Konsumen 1999: sanksi pidana bagi distributor makanan tak layak.
“Korban massal bisa ajukan class action. Ini kelalaian fatal, bukan sekadar salah teknis,” tegasnya.
Ahli gizi masyarakat, Dr. Tan Sotien, menyebut rantai distribusi panjang MBG sangat rawan.
“Jika makanan disimpan pada suhu 5–60°C, itu zona berbahaya bagi bakteri Salmonella, E. coli, atau Bacillus aureus,” jelasnya.
Fakta di lapangan lebih mengejutkan: 85 dapur MBG di Bandung Barat beroperasi tanpa sertifikasi higienis maupun sanitasi.
“Ini jelas kelalaian serius. Jangan kejar target politik dengan mengorbankan anak-anak,” tegas Dr. Tan.
JPPI menilai MBG tidak hanya gagal dari segi kesehatan, tapi juga menggerogoti anggaran pendidikan. Hingga 30–44 persen RAPBN 2026 untuk pendidikan terhisap MBG.
“Padahal, 60 persen lebih sekolah dasar rusak, jutaan guru belum tersertifikasi, dan 4,2 juta anak masih putus sekolah. Bagaimana masa depan pendidikan kalau dananya dipakai untuk program makan-makan?” ujar Ubaid.
Koalisi Masyarakat Sipil melalui DPR RI mendesak Presiden Prabowo Subianto:
Hentikan program MBG sekarang juga.
Evaluasi total tata kelola BGN.
Utamakan keselamatan anak, bukan ambisi politik.
Tepatkan sasaran program hanya untuk daerah rawan gizi.
Kembalikan dana pendidikan untuk kebutuhan dasar pendidikan.
“Keselamatan anak tidak boleh jadi taruhan politik. Jangan jadikan siswa kelinci percobaan,” tegas Ari, perwakilan koalisi.
foto: Tangkapan layar TV KOMPAS