Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Foto: Ilustrasi
Oleh Mohamad Rohman | Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com
Jakarta, 4 September 2025
Malam Jakarta terasa tegang. Di halaman Gedung Bundar Kejaksaan Agung, kilatan kamera wartawan tak henti-henti menyambar. Nama yang selama ini identik dengan “reformasi pendidikan” akhirnya jatuh: NAM, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2019–2024, resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan Chromebook.
Jumlah kerugian negara yang diungkap penyidik bikin publik terperangah: Rp1,98 triliun – hampir setara dengan anggaran membangun ribuan sekolah baru di daerah 3T.
“Kami menemukan bukti kuat keterlibatan NAM dalam mengarahkan proyek ini agar hanya bisa dimenangkan oleh satu produk tertentu. Negara dirugikan hampir Rp2 triliun,” tegas Kepala JAM PIDSUS dalam konferensi pers, suaranya menggema di ruang sidang.
Dokumen penyidikan yang diterima HaluanBeritaRakyat.com mengungkap kronologi yang mencengangkan.
Pada Februari 2020, NAM mengadakan serangkaian pertemuan dengan pihak Google Indonesia. Agenda yang awalnya dibungkus sebagai “kerja sama digitalisasi pendidikan” ternyata mengarah pada rencana besar pengadaan Chromebook di seluruh sekolah negeri.
Pada 6 Mei 2020, sebuah rapat Zoom tertutup diadakan. Peserta diwajibkan memakai headset, dan agenda utamanya adalah memastikan spesifikasi teknis pengadaan TIK hanya menyebut ChromeOS.
Seorang sumber internal yang hadir dalam rapat itu (namanya disamarkan) mengaku kepada kami:
“Kami dipaksa menyusun juknis yang mengunci spesifikasi hanya untuk produk tertentu. Padahal ada banyak alternatif lebih murah dan kompatibel. Tapi perintah datang langsung dari Pak Menteri.”
Tak berhenti di situ, NAM pada Februari 2021 menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang memuat lampiran teknis mengunci spesifikasi ChromeOS.
Padahal, uji coba Chromebook pada 2019 sudah dinyatakan gagal digunakan di sekolah-sekolah daerah 3T karena keterbatasan infrastruktur internet.
ICW menilai kebijakan ini sebagai bentuk “desain kebijakan koruptif”.
“Ini bukan sekadar markup harga. Ini persekongkolan dari hulu ke hilir, dari kebijakan hingga pengadaan. Ini skandal besar,” kata Peneliti ICW, Egi Primayogha.
NAM kini dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup. Ia ditahan di Rutan Salemba selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan.
Publik bereaksi keras. Di media sosial, tagar #SkandalChromebook dan #SelamatkanPendidikan menjadi trending nasional. Banyak warganet mengecam bagaimana dana yang seharusnya memajukan pendidikan justru dijadikan ajang bancakan.
Seorang guru dari Kabupaten Sumba Timur menulis di akun X-nya:
“Kami bahkan tidak punya listrik 24 jam, tapi miliaran digelontorkan untuk Chromebook yang akhirnya berdebu di gudang.”
PR Besar Pemerintah
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Program digitalisasi pendidikan yang digadang-gadang sebagai terobosan kini tercoreng.
Pakar hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mendesak agar kasus ini diusut tuntas hingga ke pihak swasta yang diuntungkan.
“Korupsi di sektor pendidikan dampaknya luar biasa. Ia menciptakan generasi yang kehilangan kesempatan belajar. Tidak boleh ada impunitas,” ujarnya.
Akhir yang Masih Panjang
Skandal Chromebook bukan sekadar kasus hukum. Ini adalah cermin betapa rentannya kebijakan publik disusupi kepentingan bisnis. Penahanan NAM mungkin baru awal. Masyarakat menunggu keberanian penegak hukum menjerat pihak lain yang ikut menikmati “kue” digitalisasi pendidikan.
Di tengah sorotan publik, satu pertanyaan besar menggantung di udara: Apakah pendidikan kita sedang didigitalisasi, atau justru dikorupsi?