Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Wayang kulit, pengajian akbar, dan ribuan warga yang larut dalam semangat spiritual dan budaya: Hadimulyo membuktikan bahwa kemajuan tak selalu harus datang dari kota.
Ditulis oleh: Slamet Sulaiman
Editor: Mohamad Rohman
HaluanBeritaRakyat.com – Mesuji, 22–23 Juli 2025
Dalam banyak narasi tentang desa, kita kerap terjebak pada cerita tentang keterbelakangan, keterbatasan, atau ketertinggalan. Tapi Hadimulyo—sebuah desa di jantung Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Mesuji—memutarbalikkan paradigma itu. Di usia ke-40, desa ini justru bersinar terang sebagai gugusan nilai-nilai luhur, memperlihatkan bahwa desa bukanlah sisa masa lalu, melainkan harapan masa depan.
Selasa malam, 22 Juli 2025. Lapangan Hadimulyo bukan hanya jadi tempat berkumpul—ia berubah menjadi ruang spiritual dan budaya yang menggetarkan hati. Lebih dari 3.000 warga dari berbagai penjuru desa dan kecamatan datang tanpa undangan formal. Mereka hadir karena cinta. Karena ingin merayakan, bukan sekadar menyaksikan.
Acara dibuka dengan pagelaran wayang kulit oleh Ki Anon Dwijo Jangko, dalang kawakan dari Jawa Timur. Lakon yang dibawakan bukan hanya kisah Mahabarata, melainkan tafsir atas kehidupan: tentang persaudaraan, kepemimpinan, dan kesetiaan pada nilai. Gending mengalun, warga menyimak. Senyap, tapi hangat.
Keesokan harinya, pagi yang cerah disambut pengajian akbar yang menghadirkan KH. Yudho Prasetio, ulama karismatik asal Surabaya. Jamaah menyesaki lapangan hingga ke jalan desa. Warga menyimak dengan tenang. Tak ada riuh kampanye. Tak ada politik uang. Hanya lantunan ayat, petuah bijak, dan keheningan batin yang membekas.
Bupati Mesuji Hj. Elfianah, SE, hadir langsung dalam acara ini. Tidak dengan protokoler kaku. Ia berjalan di antara warga, menyalami para tokoh, dan duduk bersila bersama jamaah. Dalam sambutannya, ia menyampaikan pesan menyentuh:
“Desa seperti Hadimulyo mengingatkan kita, bahwa membangun tidak cukup dengan beton dan aspal. Kita butuh fondasi iman, budaya, dan kebersamaan.”
Bupati perempuan pertama di Mesuji ini juga menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh menggerus akar budaya. Ia berkomitmen mendukung setiap desa yang mampu menjaga nilai-nilai tradisi sekaligus melangkah dalam inovasi.
“Kami membangun jalan, irigasi, jembatan, tapi juga merawat ruang-ruang spiritual warga. Di sini tempatnya: Hadimulyo.”
Dalam tausiyahnya, KH. Yudho Prasetio menyampaikan kekaguman luar biasa. Ia tak menyangka ada desa yang mampu memadukan tradisi dan religiusitas dengan begitu harmonis.
“Saya melihat semangat umat, semangat pemimpin, dan semangat desa. Ini bukan sekadar pengajian, ini revolusi sunyi dari desa,” katanya.
Ia bahkan menyebut bahwa Mesuji memiliki potensi besar menjadi contoh nasional tentang bagaimana kearifan lokal mampu menjawab krisis sosial dan spiritual yang kini menghantui perkotaan.
Mbah Karno (66), tokoh sepuh Hadimulyo, mengusap pelipisnya yang mulai berembun saat ditanya makna Hari Jadi desa.
“Dulu saya tanam pohon di tanah ini. Sekarang, saya panen rasa bahagia. Anak-anak kita masih bisa mendengar wayang, bisa mengaji, dan saling kenal tetangganya.”
Begitulah Hadimulyo: ia bukan hanya nama desa, melainkan identitas yang hidup.
Biasanya, desa meniru kota. Tapi Hadimulyo menawarkan paradigma sebaliknya. Justru kota yang harus belajar dari desa ini—belajar soal kepemimpinan yang menyentuh hati, tentang tradisi yang mendekatkan manusia, dan tentang masyarakat yang tahu bahwa perayaan bukan sekadar pesta, melainkan doa yang dibunyikan dalam gending dan diaminkan dalam sujud.
40 Tahun Hadimulyo:
Berdiri tahun 1985
Populasi: ± 4.200 jiwa
Aset budaya: Wayang Kulit, Hadroh, Pengajian Rutin
Visi Desa: “Berbudaya, Beriman, Bermartabat”
Di tengah bisingnya zaman yang sering mempertentangkan budaya dan kemajuan, Hadimulyo berdiri sebagai ruang sunyi yang berbicara lantang:
Bahwa membangun tidak hanya soal APBD, tapi juga soal nurani.
Bahwa merayakan tidak hanya soal panggung, tapi soal kesadaran kolektif.
Dan bahwa dari desa kecil di sudut Mesuji ini, Indonesia bisa belajar tentang arti besar dari kebersamaan yang tak ternilai.