Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Bupati Mesuji saat menerima wayan dari Ki Dalang Eko Hadi Purnomo dari Rengel Jombang Jawa Timur dalam acara pagelaran wayang kulit di desa Mukti Karya
Mukti Karya, Mesuji – HaluanBeritaRakyat.com
Di bawah langit malam yang syahdu dan semerbak dupa kemenyan, masyarakat Desa Mukti Karya, Kecamatan Panca Jaya, Kabupaten Mesuji, larut dalam kekhusyukan spiritual dan kekayaan budaya lokal. Pagelaran Wayang Kulit Ruwatan Bulan Suro yang digelar pada Selasa malam itu tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan kehidupan, mengusung lakon penuh makna: “Sirnaning Memala”, atau lenyapnya marabahaya.
Acara sakral tahunan ini dihadiri langsung oleh Bupati Mesuji Hj. Elfianah, SE, didampingi Camat Panca Jaya Ali Hasan, serta Kepala Desa Mukti Karya, Muarif, yang menyambut masyarakat dengan hangat dan penuh rasa syukur atas antusiasme yang luar biasa.
“Pagelaran ini bukan hanya hiburan, melainkan wujud nyata pelestarian warisan budaya dan spiritualitas luhur. Apalagi digelar di bulan Suro atau Muharram, bulan yang dikenal sakral dan penuh makna pembersihan batin,” ujar Bupati Elfianah dalam sambutannya yang disambut tepuk tangan meriah.
Wayang kulit bukanlah sekadar pertunjukan semalam. Ia adalah ruh peradaban, medium pendidikan karakter, serta alat perekat sosial masyarakat. Desa Mukti Karya menjadi contoh nyata bagaimana budaya tradisional tak lekang dimakan zaman, tetapi justru menjadi ruang kolektif untuk menyemai nilai gotong royong dan solidaritas warga.
Ketua Panitia, Sururi, S.Pd., M.Pd, menjelaskan bahwa lakon “Sirnaning Memala” mengajarkan pentingnya sinergi antara pemimpin dan rakyat dalam mengatasi bencana dan masalah kehidupan. Tokoh seperti Prabu Kresna dan para Pandawa menjadi metafora atas peran tokoh masyarakat dan agama yang bahu membahu membawa keselamatan bersama.
“Ruwatan ini adalah upaya spiritual dan sosial untuk membuang sial, mempererat ikatan sosial, dan menggugah kesadaran kolektif dalam membangun desa,” jelas Sururi.
Menariknya, Camat Panca Jaya Ali Hasan, yang berasal dari suku Lampung asli, justru menunjukkan apresiasi tinggi terhadap seni tradisional Jawa ini.
“Saya memang orang Lampung, tapi saya bangga dengan kekayaan budaya lintas etnis di wilayah ini. Masyarakat bahu membahu menyiapkan pagelaran ini, tanpa melihat suku. Inilah wajah Mesuji yang rukun dan penuh toleransi,” ujar Ali Hasan sambil tertawa mengakui meski tak sepenuhnya paham alur ceritanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa semua desa di wilayahnya ikut menggelar wayang kulit selama bulan Suro. Ini menjadi simbol betapa budaya mampu menyatukan dan menghidupkan semangat kolektivitas warga.
Wayang kulit adalah warisan budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO pada 2003 sebagai “Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Tak heran, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mendorong pelestarian budaya ini ke berbagai pelosok, termasuk melalui program desa budaya.
Dalam konteks lokal, seperti di Mukti Karya, wayang kulit menjadi lebih dari sekadar tontonan. Ia adalah pembelajaran hidup, refleksi sosial, dan instrumen spiritual masyarakat desa, sekaligus sumber penghidupan bagi para seniman lokal.
(Sumber: Portal Indonesia.go.id – “Wayang Kulit: Salah Satu Identitas Kesukuan Indonesia”, https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/wayang-kulit-salah-satu-identitas-kesukuan)
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mukti Karya, bersama Bupati Mesuji dan masyarakat, adalah bentuk nyata bahwa budaya tidak hanya perlu dijaga, tapi juga dihidupkan. Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, kembali ke akar budaya adalah pilihan strategis untuk membangun identitas, kebersamaan, dan ketahanan sosial.
Pagelaran wayang kulit ruwatan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi pernyataan sikap kultural dan spiritual: bahwa di tengah dunia yang penuh tantangan, rakyat Mesuji masih percaya bahwa kebijaksanaan leluhur adalah pelita yang tak pernah padam.
Editor: Mohamad Rohman
Reporter: Slamet Sulaiman
Foto: Dokumentasi Pemdes Mukti Karya / Tim Redaksi Haluan