Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Slamet Sulaiman | Foto: Ilustrasi
(Dikembangkan dan diperkaya referensinya oleh Tim Redaksi HaluanBeritaRakyat.com)
“Jangan paksa generasi muda menyesuaikan dunia lama kita. Justru kitalah yang harus belajar memahami cara mereka membentuk masa depan.”
Di era digital saat ini, kita hidup dalam zaman percepatan. Budaya, teknologi, bahkan cara belajar dan bekerja berubah dalam hitungan tahun—bahkan bulan. Sementara itu, banyak orang tua yang masih berharap anak-anak mereka tumbuh dengan pola yang dulu mereka kenal: sekolah tinggi, kerja mapan, menikah, dan hidup “aman”. Sayangnya, pola itu tak lagi relevan bagi sebagian besar generasi muda.
Sebaliknya, generasi muda kini tumbuh dengan semangat eksplorasi, mengedepankan kebebasan ekspresi, dan hidup dalam ekosistem teknologi yang membuka jutaan peluang baru yang tak dikenal generasi sebelumnya. Inilah sumber ketegangan: ekspektasi yang tidak dikelola antara generasi.
Bagi orang tua, ekspektasi yang tidak disesuaikan dengan zaman bisa menjadi jebakan. Tapi jika dikelola dengan bijak, ia justru menjadi amunisi untuk membimbing anak menuju arah yang lebih baik—dengan kasih sayang, empati, dan ilmu.
James Clear dalam bukunya Atomic Habits menyebut bahwa perubahan besar bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan dari tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten. Ia menyebut kebiasaan sebagai “atom-atom kecil dari perubahan besar”.
Mengapa kebiasaan penting?
Karena dari situlah arah hidup seseorang terbentuk. Orang sukses bukan hanya karena bakat, tapi karena membangun sistem kebiasaan produktif. Orang gagal bukan karena bodoh, tapi karena membiarkan kebiasaan negatif mengambil alih kendali hidupnya.
Buat terlihat dan mudah: Misalnya, menata buku di tempat yang terlihat agar anak tertarik membaca.
Berikan imbalan emosional: Pujian tulus, pelukan, atau waktu bermain bersama setelah menyelesaikan tugas.
Bentuk lingkungan pendukung: Ganti screen time berlebih dengan waktu keluarga yang bermakna.
Ajarkan cara menghadapi stres dan godaan: Misalnya, teknik pernapasan saat marah, atau journaling saat cemas.
Referensi:
Clear, James. (2018). Atomic Habits. Ringkasan: Perpusnas Indonesia
Dalam Islam, manusia adalah makhluk paling mulia karena dianugerahi akal dan hati (QS At-Tin: 4). Tapi, akal ini bisa tumpul jika dibelenggu oleh pola pikir yang keliru.
Carol S. Dweck memperkenalkan dua jenis mindset dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success:
Menganggap kecerdasan itu bawaan lahir dan tidak bisa berubah. Akibatnya:
Takut gagal.
Mudah menyerah.
Cenderung membandingkan diri secara negatif.
Percaya bahwa kecerdasan bisa dikembangkan. Anak dengan pola pikir ini:
Siap gagal dan belajar darinya.
Semangat mencoba hal baru.
Tahan banting menghadapi tantangan.
Orang tua yang memuji “proses dan usaha” lebih efektif membentuk growth mindset daripada yang hanya memuji “hasil akhir”.
Referensi:
Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Ringkasan: Perpusnas Indonesia
Dalam budaya populer, kekayaan sering dipersepsikan sebagai keberhasilan utama. Sayangnya, tekanan untuk menjadi “orang sukses” secara materi telah membuat banyak anak kehilangan makna hidup—dan terjebak dalam perlombaan tanpa akhir.
Morgan Housel, dalam The Psychology of Money, menjelaskan bahwa kekayaan sejati bukan tentang seberapa besar uang yang dimiliki, tetapi bagaimana kita mengelola pikiran dan perilaku terhadap uang.
Disiplin lebih penting dari gaji besar.
Kesabaran lebih bernilai daripada spekulasi.
Hindari gaya hidup gengsi dan konsumtif.
Jangan iri pada kekayaan palsu orang lain di media sosial.
Pahami bahwa kekayaan sejati adalah kebebasan, bukan kemewahan.
Referensi:
Housel, Morgan. (2020). The Psychology of Money. Ringkasan: Perpusnas Indonesia
Dalam konteks KEJ (Konteks Edukasi Jurnalistik), artikel ini juga menekankan pentingnya:
Peran media dalam membentuk narasi ekspektasi yang sehat bagi generasi muda.
Pendidikan karakter dan literasi keluarga sebagai solusi konkret dari pergeseran nilai zaman.
Kolaborasi antara sekolah, media, dan orang tua untuk membangun pola pikir produktif dan realistis.
Dengan narasi jurnalistik yang mengangkat tema ekspektasi, media berperan penting dalam menjadi jembatan antar generasi—menginspirasi publik, bukan menghakimi.
Mengelola ekspektasi bukan menyerah pada zaman. Ini tentang menyesuaikan cara, bukan menurunkan nilai. Anak-anak kita tidak sedang memberontak. Mereka sedang belajar menjadi diri mereka—dengan cara dan tantangan mereka sendiri.
✅ Arahkan, bukan paksa.
✅ Dukung, bukan tuntut.
✅ Dampingi prosesnya, bukan hanya menilai hasilnya.
Karena generasi emas bukan hanya mereka yang juara kelas, tapi mereka yang punya ketangguhan, karakter, dan kompas hidup yang jujur dan bermakna.
“الْوَلَدُ مَرْعًى مِنْ مَرَاعِي الْحَقِّ، فَأَصْلِحُوهُ بِالْعِلْمِ وَالْحِلْمِ”
“Anak adalah ladang Allah, maka rawatlah ia dengan ilmu dan kesabaran.”
(Nasihat Hikmah Ulama Salaf)
“Anak bukan kertas kosong yang harus kita tulisi harapan kita. Mereka adalah benih yang unik, yang harus kita bantu tumbuh menjadi pohon kebaikan di tengah zaman yang berubah.”
— Slamet Sulaiman