Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Redaksi Investigasi HaluanBeritaRakyat.com | Mohamad Rohman
Jakarta, 11 Juli 2025
Transformasi digital di tubuh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi layanan perbankan nasional, justru berubah menjadi skema megakorupsi berlapis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik kolusi dalam pengadaan Electronic Data Capture (EDC) Android dengan nilai proyek mencapai Rp2,1 triliun, yang diduga merugikan negara hingga Rp744 miliar.
Tak hanya itu, dalam pengembangan kasus, penyidik KPK menemukan skema korupsi lanjutan dengan modus sewa sistem Full Managed Service (FMS) senilai Rp3,1 triliun untuk periode 2024–2026. Jika tidak dihentikan, potensi kerugian negara bisa jauh lebih besar.
Dalam konferensi pers resmi, Deputi Penindakan KPK Asep Guntur mengungkap bahwa permainan dimulai sejak tahap seleksi teknis dan penunjukan vendor. Alih-alih mengikuti prinsip transparansi dan kompetisi, pengadaan alat EDC sejak 2019 direkayasa agar hanya dua vendor terpilih. Elvizar, Direktur PT PCS, bersama CBH (Wakil Dirut BRI) dan IU (Direktur Teknologi Digital dan Operasi BRI) disebut telah mengatur proyek sejak awal, dari proof of concept hingga penyusunan spesifikasi teknis.
“Pengadaan dipagari sejak awal agar vendor tertentu menang. Harga tidak lagi mengacu pada harga prinsipal, tapi harga pesanan vendor. Ini jelas modus korupsi yang terstruktur, sistemik, dan masif,” ujar juru bicara KPK.
KPK menemukan aliran dana mencurigakan senilai Rp7,75 miliar dari vendor ke rekening sejumlah pejabat BRI. Selain itu, bentuk gratifikasi lain juga mencengangkan:
Uang tunai Rp525 juta ke CBH
Transfer Rp19,72 miliar ke RSK (Direktur anak usaha BRI IT)
Hadiah dua ekor kuda pacu
Satu sepeda balap Canondale
Stick golf mewah
Uang dalam plastik senilai USD 200.000
Pekerjaan yang dimenangkan vendor bahkan disubkontrakkan lagi ke pihak ketiga, memperkuat indikasi bahwa pengadaan ini sekadar “proyek bancakan”.
Dari total 346.838 unit EDC yang tersebar di seluruh Indonesia, KPK memperkirakan markup mencapai 33% dari total anggaran. Artinya, negara dirugikan hingga Rp744 miliar.
Sementara proyek FMS yang sempat dilanjutkan pada 2024–2026 dengan nilai Rp3,1 triliun, berhasil dihentikan setelah kerja sama antara Direktorat Kepatuhan Internal BRI dan KPK. Dana sebesar Rp2,4 triliun pun diselamatkan.
KPK telah menetapkan lima tersangka, yaitu:
CBH – Wakil Direktur Utama BRI
IU – Direktur Teknologi Digital dan Operasi BRI
DS – Kepala Aktiva dan Pengadaan BRI
Elvizar – Direktur PT PCS
RSK – Direktur PT Beringin Inti Teknologi (BRI IT)
Selain itu, 13 orang lainnya dicegah ke luar negeri, termasuk perwakilan perusahaan Verifone (Ferif), vendor multinasional asal Amerika Serikat yang terseret dalam proyek ini. Dugaan keterlibatan Warga Negara Asing (WNA) membuka kemungkinan penjeratan melalui mekanisme pertanggungjawaban pidana korporasi.
Fakta menarik muncul dari keterlibatan Elvizar yang juga pernah menjadi tersangka dalam kasus digitalisasi SPBU—program strategis era Presiden Jokowi. Hal ini menegaskan bahwa aktor-aktor proyek digital berskala nasional saling beririsan, memperlihatkan pola berulang: markup harga, permainan vendor, dan proyek sewa bernilai fantastis.
KPK menduga para tersangka melanggar sejumlah aturan penting:
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Pasal yang digunakan mencakup:
Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor
Pasal 18 UU Tipikor
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (persekongkolan)
Langkah cepat Direktorat Kepatuhan Internal BRI patut diapresiasi. Dengan memberikan data ke KPK dan menghentikan pembayaran proyek lanjutan, mereka menyelamatkan Rp2,4 triliun dana negara.
“Ini bukti nyata bahwa pengawasan internal yang kuat lebih berdampak daripada sekadar penindakan,” ujar pejabat KPK.
Digitalisasi sektor perbankan adalah keniscayaan. Namun, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kontrol publik yang kuat, proyek bernilai triliunan ini mudah menjadi alat bancakan elite dan kroninya.
Kasus EDC BRI bukan sekadar soal alat pembayaran. Ini adalah perang narasi antara kemajuan dan korupsi. Inovasi sejati harus bersih, adil, dan berpihak pada rakyat—bukan jadi “kuda troya” yang menggerogoti keuangan negara dari dalam.
Berita ini merupakan bagian dari serial investigasi “Korupsi Digital: Bayang-Bayang Gelap Inovasi Pemerintah” yang mengulas pengadaan teknologi berbasis IT dalam proyek strategis nasional, mulai dari digitalisasi SPBU hingga transformasi perbankan digital.
Hak Cipta © 2025 | HaluanBeritaRakyat.com
Editor: Tim Redaksi Investigasi | Foto : Tangkapan layar Kompas TV