“Laptop Rp9,9 Triliun: Bayang-Bayang Skandal di Balik Digitalisasi Sekolah Era Nadiem Makarim”
Proyek pengadaan 1,1 juta laptop di masa pandemi Covid-19 kini menyeret mantan Mendikbud Ristek Nadiem…
Proyek pengadaan 1,1 juta laptop di masa pandemi Covid-19 kini menyeret mantan Mendikbud Ristek Nadiem…
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) mengambil langkah konkret: membekali para guru dengan keterampilan pedagogis dan semangat baru untuk menghidupkan kembali bahasa ibu di ruang-ruang kelas. (Foto: Dok Kemendikdasmen)
Oleh: Mohamad Rohman | Haluanberitarakyat.com
LEMBANG, Jawa Barat — Selasa, 24 Juni 2025 | 04:05 WIB. Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi bahasa digital, sebuah suara lirih berusaha bertahan di ruang-ruang kelas: bahasa ibu. Dan kini, para guru menjadi benteng terakhirnya.
Langkah strategis diambil Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa). Bukan sekadar program seremonial, melainkan upaya konkret membekali guru SD dan SMP dengan pelatihan pedagogis dan semangat baru untuk menghidupkan kembali bahasa daerah yang kian terpinggirkan.
Pelatihan Guru Utama Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang berlangsung di Lembang, Jawa Barat, menjadi titik balik penting. Sebanyak 108 peserta hadir secara langsung dan lebih dari 400 guru lainnya mengikuti secara daring dari seluruh penjuru Jawa Barat. Mereka tak hanya belajar mengajar bahasa—mereka belajar menjaga nyawa identitas budaya.
“Jangan mengaku orang Sunda kalau tidak bisa berbahasa Sunda,” tegas Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, dalam pidatonya yang membakar semangat para peserta.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah bahasa daerah terbanyak kedua di dunia. Namun ironisnya, menurut data UNESCO, lebih dari 150 bahasa daerah di Tanah Air kini dalam status terancam punah. Bahasa yang tak lagi digunakan, pelan-pelan menjadi sunyi—dan akhirnya lenyap.
“Bahasa ibu bukan sekadar alat komunikasi, tapi sarana pewarisan nilai, sejarah, dan jati diri. Ketika kita kehilangan bahasa, kita kehilangan satu generasi yang seharusnya mengenal dirinya sendiri,” ujar Hafidz.
Para guru didorong tak sekadar menjadi pengajar, tapi juga kreator ruang ekspresi: tempat anak-anak bisa mendongeng, bersyair, bernyanyi, bahkan membuat konten digital dalam bahasa daerah mereka sendiri. Di sanalah, kata Hafidz, masa depan bahasa lokal menemukan napasnya kembali.
Salah satu peserta pelatihan, Dian, guru seni dari Ciamis, mengaku pelatihan ini membuka matanya. Ia tak menyangka betapa besar potensi ekspresi anak-anak jika diberi panggung dengan bahasa ibu.
“Anak-anak ternyata sangat ekspresif. Mereka tidak malu, justru bangga ketika tampil dengan cerita rakyat dan lagu daerah. Bahasa ibu itu bukan kenangan masa lalu, tapi jembatan ke masa depan,” katanya penuh haru.
Bahkan dukungan kelembagaan pun mulai menguat. Universitas Muhammadiyah Kuningan membuka Program Studi Bahasa Sunda, menjawab kebutuhan akan guru bahasa daerah yang profesional dan berkelanjutan.
Menurut Herawati, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, pelatihan ini bukanlah tujuan akhir, tapi awal dari gerakan besar: literasi budaya yang berakar dari ruang kelas.
“Bahasa yang ditanam akan tumbuh. Dan para guru inilah para penanam benihnya,” kata Herawati.
Ia berharap para peserta akan terlibat aktif dalam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) mendatang, bukan hanya sebagai pengisi acara, tapi sebagai penggerak komunitas bahasa di wilayahnya.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari sekadar modul dan metode ajar. Ia membangkitkan kesadaran kolektif: bahwa bahasa ibu adalah bagian dari peradaban yang harus dijaga bukan karena kewajiban administratif, tapi karena panggilan nurani sebagai anak bangsa.
Dalam setiap kata yang dilantunkan, dalam setiap cerita rakyat yang diceritakan ulang, para guru hari ini bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga warisan, penggerak budaya, dan pahlawan diam-diam di medan pelestarian bahasa.