“Empat Pulau Sengketa: Antara Janji Helsinki dan Tafsir Hukum Jakarta”

Selasa, 17 Juni 2025 02:43:38

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

 Oleh Redaksi HaluanBeritaRakyat.com | { Mohamad Rohman}

Banda Aceh, 17 Juni 2025

“Bukan kata orang, ini aturan yang bicara.” Pernyataan tegas itu dilontarkan Syakir, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, saat merespons langsung tafsir hukum Yusril Ihza Mahendra terkait status empat pulau yang kini memicu kegelisahan baru di ujung barat Nusantara.

Konflik tafsir hukum ini menyusul pernyataan Menko Polhukim Yusril yang menyebut UU No. 24 Tahun 1956 dan MoU Helsinki 2005 tidak relevan untuk menentukan status kepemilikan empat pulau yang kini diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Namun bagi Pemerintah Aceh, pendapat itu dianggap keliru, bahkan mengecilkan legitimasi politik dan historis perjuangan Aceh yang sudah diteguhkan lewat perjanjian damai Helsinki. “Jangan potong sejarah seenaknya,” sindir seorang pengunjuk rasa yang ikut menyambut Syakir di depan Kantor Gubernur Aceh.

Inti Sengketa: Pulau Tanpa Nama, Batas Tanpa Garis

Sengketa ini mencuat ketika empat pulau di perairan sekitar Kabupaten Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah “secara administratif” dinyatakan masuk wilayah Sumut dalam peta Kemendagri terbaru. Namun bagi warga dan elite Aceh, penetapan itu dianggap sepihak.

Masalahnya: empat pulau itu tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU No. 24/1956, bahkan dalam dokumen MoU Helsinki. Ini celah hukum yang dimanfaatkan pihak pusat untuk menyederhanakan konflik batas administratif menjadi sekadar kedekatan geografis.

Yusril berdalih, Aceh Singkil belum eksis sebagai kabupaten saat UU 24/1956 dibuat, sehingga tidak bisa mengklaim wilayah yang belum ditetapkan batasnya secara formal.

Regulasi Bicara: Permendagri 141 Tahun 2017 jadi Kunci

Namun Pemerintah Aceh membalik tafsir itu. Menurut Syakir, aturan formal terbaru justru berpihak pada argumentasi Aceh. Ia mengacu pada Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, khususnya:

  • Pasal 3 Ayat (2) huruf f: Dokumen penegasan batas daerah mencakup kesepakatan antar-daerah yang berbatasan.

  • Lampiran Tahapan Penegasan Batas Laut: Menyebut kesepakatan tertulis tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumut sebagai dokumen sah penegasan batas.

“Kesepakatan tahun 1992 itu sah dan mengikat. Karena dia termasuk dalam dokumen penegasan sebagaimana diatur dalam Permendagri,” tegas Syakir. “Kalau ini diabaikan, lalu untuk siapa lagi aturan dibuat?”

 Helsinki: Janji Damai yang Mulai Terkikis?

Dalam benak publik Aceh, MoU Helsinki bukan sekadar dokumen damai, melainkan fondasi martabat dan otonomi yang sudah dibayar mahal dengan darah. Di dalamnya tertuang janji otonomi khusus yang memberi ruang lebih besar bagi Aceh dalam mengatur wilayahnya, termasuk penentuan batas administratif.

Meski tidak menyebut pulau secara rinci, Helsinki membuka celah untuk pengakuan historis dan partisipatif Aceh dalam pengelolaan wilayah.

“Kalau semua ditafsir Jakarta, lalu apa arti otonomi khusus?” kritik seorang akademisi Universitas Syiah Kuala yang enggan disebut namanya.

 Kemendagri: Dekat Secara Geografis, Tapi Jauh Secara Historis?

Kemendagri sebelumnya menyebut penetapan keempat pulau ke Sumut karena lokasi lebih dekat secara geografis. Namun pendekatan ini dikritik sebagai simplifikasi konflik batas daerah yang kompleks.

Praktik pengabaian aspek historis, kesepakatan lokal, hingga tafsir otonomi khusus dinilai sebagai bentuk “Jakartasentrisme” dalam kebijakan teritorial.

 Pengamat Bicara: Jakarta Harus Netral

Pakar hukum tata negara dari UGM, Prof. Zainal Arifin, menyebut bahwa pendekatan pemerintah pusat seharusnya bukan hanya legalistik, tetapi juga dialogis dan partisipatif.

“Ketika terjadi dua versi kebenaran hukum—antara pusat dan daerah—maka solusinya bukan saling menafsir sendiri, melainkan duduk bersama menyusun dasar hukum yang partisipatif,” tegasnya.

Catatan Kritis

  • Sengketa ini bukan hanya tentang pulau, tapi juga tentang legitimasi dan kepercayaan publik Aceh terhadap janji negara.

  • Penanganan tanpa pendekatan sosiopolitis berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan, bahkan bisa dimanfaatkan oleh kelompok separatis yang selama ini masih eksis secara ideologis.

 Akhir Kata: Siapa Milik Siapa?

Pemerintah pusat perlu hati-hati. Menyelesaikan masalah batas wilayah di daerah yang punya sejarah panjang konflik tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan administratif semata. Apalagi jika mengabaikan semangat Perjanjian Helsinki yang hingga hari ini masih dianggap “kitab damai” oleh rakyat Aceh.

Empat pulau yang tampak kecil di peta, ternyata menjadi simbol besar tentang bagaimana negara memperlakukan wilayah yang pernah berdarah demi janji keadilan dan otonomi.

Infografis yang Dapat Disertakan:

  1. Peta Lokasi Empat Pulau Sengketa

  2. Tahapan Penegasan Batas Daerah Laut menurut Permendagri 141/2017

  3. Perbandingan Dasar Hukum (UU 24/1956 vs MoU Helsinki vs Permendagri 141/2017)

  4. Timeline Kesepakatan Gubernur Aceh-Sumut Tahun 1992         

banner-website

Viral

Populer