Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh: Mohamad Rohman
Special Investigative Feature — HaluanBeritaRakyat.com
Jakarta — Kejaksaan Agung menetapkan bos Ritex Group sebagai tersangka dalam kasus korupsi mega kredit senilai Rp3,6 triliun yang diduga mengalir tanpa agunan melalui Bank DKI dan Bank BJB. Penyidikan mulai menyingkap praktik kongkalikong antara oknum bank dan pengusaha, bahkan menyeret kemungkinan adanya aktor politik di belakang kasus ini.
Menurut Ahmad Sahroni, Anggota Komisi III DPR RI, penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung menunjukkan indikasi jelas adanya kerja sama gelap antara pihak bank dan pengusaha.
“Kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka, pasti ada indikasi kuat. Ini patut diduga kongkalikong, antara bank dan pelaku usaha. Harusnya juga diselidiki para kreditur besar, jangan-jangan tidak sesuai fakta,” tegas Sahroni.
Lebih lanjut, ia mengapresiasi langkah cepat Kejagung dan menyatakan tidak perlu intervensi atau pengawasan tambahan karena Jaksa Agung saat ini dianggap cukup progresif. Namun, Sahroni menegaskan, DPR akan mendalami siapa pihak yang membekingi pencairan kredit jumbo tersebut dalam rapat kerja berikutnya.
Yudi Purnomo, mantan penyidik KPK, menyebut bahwa skema kredit ini sejak awal memang sudah menyimpang dan sarat rekayasa.
“Dari pengalaman saya menangani kasus perbankan, ini jelas direncanakan dari awal. Agunan fiktif, predikat aset dipaksakan, bahkan laporan keuangan PT SRITEX dibuat seolah menguntungkan padahal anjlok drastis dari laba Rp1,8 triliun di 2020 jadi minus Rp15 triliun di 2021,” ungkap Yudi.
Menurut Yudi, proses pencairan pinjaman ini sudah janggal karena disetujui oleh direksi bank yang seharusnya telah lolos fit and proper test dan memahami risiko kredit. Hal ini memunculkan dugaan bahwa keputusan tersebut bukan semata teknis, melainkan ada tekanan atau arahan dari pihak luar.
Baik Yudi maupun Sahroni menyoroti kemungkinan adanya ‘orang kuat’ yang membekingi pencairan kredit ini. Bahkan Pusat Kajian Antikorupsi UGM menduga kuat ada sosok politik yang bermain di belakang layar. Yudi menyebut bahwa backing politik seperti ini biasanya tak terlibat langsung di dokumen, melainkan bermain lewat instruksi lisan atau pertemuan informal.
“Mereka bermain di ruang gelap. Kalau tersangka mau buka suara sebagai justice collaborator, bisa jadi pintu pembuka keterlibatan tokoh kuat di balik kasus ini. Tapi biasanya mereka pasang badan,” ujar Yudi.
Sahroni mendukung penuh langkah Kejagung dan mendesak agar kasus ini dibuka secara transparan. Ia bahkan menantang pihak terkait agar berani membongkar siapa saja pihak yang meloloskan kredit tanpa agunan tersebut.
“Kalau berani, buka aja semua! Kita ingin tahu siapa yang jadi backing, siapa yang main. Jangan cuma berhenti di level direksi bank. Negara bisa rusak kalau kredit semacam ini dianggap biasa,” ucapnya.
Menurut Yudi Purnomo, ada tiga jalur krusial yang harus ditelusuri oleh Kejagung:
Proses awal pengajuan kredit, termasuk dokumen palsu atau manipulatif.
Skema penyaluran, termasuk agunan palsu dan persetujuan janggal.
Aliran dana, untuk mengungkap siapa saja yang menikmati hasilnya.
Kasus ini menjadi batu ujian bagi Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik kongkalikong berjamaah yang melibatkan elite perbankan dan pengusaha besar. Publik menanti, apakah Kejaksaan Agung cukup berani menelusuri jejak kekuasaan hingga ke puncak, atau kasus ini akan berakhir seperti banyak skandal sebelumnya — lenyap ditelan waktu dan kekuasaan.
Sumber Berita dan foto tangkapan layar Kompas TV