Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Oleh Mohamad Rohman
Pemimpin Redaksi, Haluanberitarakyat.com
Jakarta — Ketika negara terlalu sibuk menyusun roadmap digital, rakyat terpaksa menempuh jalan aspal untuk sekadar didengar.
Mei ini, bukan hanya udara Jakarta yang membara. Tapi juga derita yang tak tertampung dalam ruang dialog. Ribuan pengemudi ojek online menumpahkan isi hatinya di jalanan: jalan yang setiap hari mereka huni, tapi tak pernah memberi kepastian.
Ini bukan sekadar demonstrasi. Ini adalah gugatan moral: bahwa negara telah terlalu lama nyaman duduk di kursi penumpang, sementara para pengemudi terus menghidupkan mesin dan menanggung risiko.
Di balik wajah modern kota dan gemerlap aplikasi, ada realitas pahit yang nyaris tak terdengar: para pengemudi ojek online yang menjadi tulang punggung ekonomi digital justru hidup tanpa jaminan apa-apa.
Mereka menggerakkan ekonomi mikro: dari makanan, obat-obatan, hingga pendidikan. Namun sayangnya, negara seperti hanya menikmati hasil, tanpa memberikan perlindungan.
📌 Fakta Lapangan:
Jumlah pengemudi aktif: 2,58 juta orang
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2024)
Rata-rata penghasilan bersih harian: Rp68.000
(Sumber: Survei ILO Indonesia & Jaringan Aksi Pekerja Digital, 2024)
Potongan aplikator: 20–25%
(Sumber: Laporan Katadata Insight Center, 2024)
Pengemudi dengan BPJS aktif: <40%
(Sumber: OJK, BPJS Watch, 2024)
Pekerja platform dengan perlindungan ketenagakerjaan formal: Hampir 0%
(Sumber: International Labour Organization, 2024)
Valuasi dua raksasa aplikator—GoTo dan Grab—melambung tinggi. Tapi para pengemudi, mitra yang sesungguhnya jadi tulang punggung, tetap hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian.
📌 Data Valuasi Aplikator:
GoTo (Gojek Tokopedia): Rp100,92 triliun
(Sumber: Bisnis.com, 9 Februari 2024)
Grab Holdings Ltd.: US$12,99 miliar = Rp203,74 triliun (kurs BI Jisdor Rp15.685)
(Sumber: Bisnis.com dan Reuters, Februari 2024)
➤ Total valuasi gabungan: >Rp300 triliun
Namun, mayoritas mitra pengemudinya belum mampu menembus batas Upah Minimum Provinsi (UMP).
Yang lebih menyakitkan, penghasilan itu:
Belum dipotong bensin dan pulsa harian
Belum termasuk cicilan motor
Belum menyentuh jaminan hari tua, cuti sakit, atau tunjangan keluarga
Dan ketika algoritma sistem menjatuhkan penalti sepihak karena pembatalan order, tak ada ruang banding manusiawi.
Berbagai regulasi sebenarnya telah diterbitkan. Namun, semuanya gamang menghadapi realitas kerja digital.
📜 Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019
Mengatur tarif batas bawah dan atas. Tapi di lapangan, tarif promosi justru menjebak pendapatan pengemudi.
📜 Kepmenhub No. KP 1001 Tahun 2022
Mengatur skema tarif terbaru, namun belum menyentuh aspek kesejahteraan pekerja.
📜 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Masih berlandaskan hubungan kerja konvensional, tak menjangkau pekerja platform.
📜 UU No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law Cipta Kerja)
Alih-alih memberi perlindungan, justru menambah kekaburan status kerja melalui fleksibilitas tanpa batas.
📌 Hingga Mei 2025, belum ada satu pun Undang-Undang nasional yang secara khusus mengatur pekerja platform digital.
Pada 20 Mei 2025, ribuan pengemudi ojol turun ke jalan di 14 kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar.
“Kami bukan anti pemerintah. Kami hanya menuntut pemerintah untuk berani menjadi pemerintah.”
— Orator di depan DPR RI, 20 Mei 2025
Di tengah ambisi negara menuju transformasi digital 2045, ironi justru lahir: pekerja digital dibiarkan tanpa hak dasar.
Para pengemudi tidak meminta bansos.
Yang mereka tuntut:
Status kerja yang jelas dan diakui secara hukum
Pendapatan minimum yang adil dan transparan
BPJS dan jaminan sosial universal
Perlindungan dari pemutusan kemitraan sepihak
Hak untuk berserikat di era digital
“Kalau startup bisa dapat insentif fiskal dan keringanan pajak, kenapa pengemudinya tidak dapat jaminan sosial?”
— Dwi, pengemudi dari Tangerang Selatan
Apa guna roadmap digital bila penggeraknya tetap terjebak di pinggiran regulasi?
Apa arti algoritma bila ia hanya digunakan untuk memangkas hak manusia?
📌 Catatan Keadilan Digital 2025
Indikator | Data |
---|---|
Valuasi GOTO & Grab | >Rp300 triliun |
Pendapatan bersih ojol | Rp68.000/hari |
Potongan aplikator | 20–25% |
Kepemilikan BPJS | <40% |
Payung hukum nasional | Belum ada |
“Kami bukan pengemis digital. Kami pekerja. Tapi kami diperlakukan seperti angka dalam dashboard profit.”
— Siska, 28 tahun, pengemudi dari Bekasi
Hari ini, negara ditantang: apakah akan terus bersembunyi di balik indeks teknologi, atau berani menegakkan keadilan sosial dalam wajah ekonomi baru?
Karena yang dipertaruhkan bukan sekadar angka di layar, tapi nyawa dan martabat manusia di balik setir.
Referensi:
Bisnis.com, “Mengukur Potensi Valuasi Merger Grab dan GOTO”, 9 Februari 2024
Katadata Insight Center, “Potret Kehidupan Pekerja Platform”, 2024
ILO Indonesia, “Digital Labour Platform in Indonesia”, 2024
BPS, “Statistik Ketenagakerjaan Indonesia”, 2024
OJK & BPJS Watch, “Laporan Penetrasi Jaminan Sosial Sektor Informal”, 2024
Reuters, “Grab Considers Acquisition of GOTO”, Februari 2025