Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia: Ketika Pelindung Berubah Menjadi Predator

Jumat, 11 April 2025 11:43:42

Pendidikan

Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa

Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…

Foto: Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (dok. Polri)

JAKARTA, haluanberitarakyat.com

Indonesia tengah berada di titik krisis moral. Lembaga negara yang seharusnya menjadi pelindung kini tercoreng oleh dugaan kejahatan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat. Komnas Perempuan secara tegas menyebut negeri ini sedang menghadapi darurat kekerasan seksual, seiring meningkatnya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (14/3/2025).

“Ini peringatan keras bagi semua pihak. Aparat penegak hukum, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan harus bersungguh-sungguh mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ujar Veryanto.

Kejahatan Seksual di Jantung Institusi Hukum

Kasus yang menjadi sorotan tajam adalah dugaan tindakan asusila oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, terhadap anak. Yang lebih mencengangkan, aksi bejat tersebut tidak hanya dilakukan secara berulang, tetapi juga direkam dalam bentuk video dan diduga beredar dalam jaringan industri pornografi.

“Ketika aparat—yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan—malah menjadi pelaku, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran etik. Ini pengkhianatan terhadap mandat konstitusi,” tegas Veryanto.

Fakta Darurat: Data yang Mencengangkan

Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat:

  • 401.311 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat selama 2023, meningkat 35% dari tahun sebelumnya.
  • Dari jumlah tersebut, 58% adalah kekerasan seksual, dan mayoritas terjadi di ranah personal (keluarga/pasangan).
  • Dalam rentang 2020-2023, lebih dari 40% pelaku berasal dari kalangan dekat korban, termasuk guru, tokoh agama, dan bahkan aparat keamanan.

Sumber: Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024

Seruan untuk Hukuman Maksimal dan Reformasi Institusi

Komnas Perempuan mendesak Kepolisian Republik Indonesia agar menangani kasus AKBP Fajar dengan profesional, transparan, dan memberi hukuman maksimal sesuai UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Pasal 15 UU TPKS secara eksplisit menyebutkan bahwa jabatan atau kekuasaan yang dimanfaatkan dalam tindak kekerasan seksual menjadi alasan pemberatan hukuman, bahkan hingga hukuman seumur hidup atau kebiri kimia dalam kasus tertentu.

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menyatakan pada Media Indonesia (14/3/2025), “Kami ingin kasus ini dijadikan preseden hukum tegas. Bukan hanya untuk efek jera, tetapi sebagai langkah reformasi internal aparat keamanan.”

Korban: Luka Ganda dari Kekerasan dan Stigma

Yang sering terlupakan dalam pusaran kasus semacam ini adalah korban dan keluarganya. Selain mengalami trauma fisik dan psikis, korban kekerasan seksual juga kerap dihadapkan pada stigmatisasi sosial, pengucilan, hingga tekanan keluarga.

“Korban kerap dibungkam karena pelaku punya kuasa. Ini bukan sekadar tindak pidana, ini juga bentuk dominasi kekuasaan atas tubuh manusia lain,” ujar Kirana Larasati, aktivis pendamping korban dari Yayasan Pulih.

Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan dan pemulihan yang berkelanjutan bagi korban:

  • Layanan psikososial
  • Pendampingan hukum
  • Rehabilitasi dan reintegrasi sosial
  • Perlindungan identitas dari media

Saatnya Negara Hadir Secara Tegas

Darurat kekerasan seksual bukan sekadar slogan. Ia adalah kenyataan sosial yang menghantui ruang-ruang publik dan privat. Di tengah gelombang digital dan budaya patriarki yang masih kuat, korban tak cukup hanya dibela di atas kertas hukum—mereka perlu rasa aman, keadilan nyata, dan perubahan budaya aparat.

Komnas Perempuan, Kompolnas, dan aktivis masyarakat sipil kini satu suara: jika negara sungguh hadir, maka tak ada tempat lagi bagi predator seksual berbaju kekuasaan.

“UU TPKS bukan sekadar simbol. Ini amanat keadilan. Saatnya ditegakkan.” – Veryanto Sitohang, Komnas Perempuan {Moh Rohman}

banner-website

Viral

Populer