Sekolah Dilarang Menahan Ijazah: Jawa Barat Wajib Lindungi Hak Pendidikan Siswa
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
Opini | Oleh: Mohamad Rohman – Pemimpin Redaksi HaluanBeritaRakyat.com Bekasi, 8 Juli 2025 “Ijazah bukan…
haluanberitarakyat.com-Banjir besar kembali melanda Bekasi, menjadi salah satu wilayah terdampak paling parah sejak Senin (3/3) malam akibat luapan Kali Bekasi. Bencana ini melumpuhkan kota sejak Selasa (4/3), dengan air yang menggenangi 20 titik di tujuh kecamatan.
Hingga Rabu (5/3), tercatat 22.856 kepala keluarga terdampak di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan. Kecamatan Jatiasih menjadi wilayah yang paling parah, dengan tujuh kompleks perumahan terdampak seluas 145,7 hektare. Lima di antaranya mengalami kerusakan terparah, yaitu Perumahan Vila Jatirasa, Kemang Ifi, Pondok Mitra Lestari, Pondok Gede Permai, dan Perumahan AL.
Banjir Terparah dalam Sejarah Bekasi
Banjir yang melanda Bekasi tahun ini lebih besar dibandingkan peristiwa serupa sebelumnya. Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas (KP2C), Puarman, mengingatkan bahwa sejak 2016, banjir besar telah terjadi beberapa kali. Tahun 2020, Bekasi diterjang banjir yang dianggap lebih besar dari 2016. Namun, pada 3 Maret 2025, banjir yang datang bahkan lebih besar dari yang terjadi pada awal 2020.
“Pada 1 Januari 2020, tinggi air mencapai 540 cm. Kemarin, air mencapai 680 hingga 700 cm,” ungkap Puarman.
Tata Kelola DAS yang Buruk Jadi Penyebab Utama
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa penyebab banjir di Bekasi adalah kombinasi dari curah hujan tinggi, perubahan iklim, serta tata kelola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang buruk. Ia menyoroti perumahan-perumahan di Sentul yang dibangun di wilayah resapan air, sehingga aliran air langsung menuju sungai tanpa terserap tanah.
Saat ini, hanya 1.700 hektare hutan yang tersisa di DAS Kali Bekasi, atau sekitar 2 persen dari total luas DAS yang mencapai 147 ribu hektare. Idealnya, minimal 30 persen kawasan ini harus berupa hutan untuk mencegah banjir, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebelum dicabut oleh UU Cipta Kerja.
Lonjakan Permukiman di DAS Kali Bekasi
Data Greenpeace menunjukkan bahwa pada 2022, 42 persen lahan DAS Kali Bekasi telah berubah menjadi permukiman, melonjak dari hanya 5,1 persen pada 1990. Akibatnya, lahan yang dulunya berfungsi sebagai sawah dan daerah resapan air kini berubah menjadi area beton yang memperparah limpasan air ke sungai.
Perizinan Perlu Ditinjau Kembali
Iqbal meminta pemerintah untuk meninjau kembali izin pembangunan di DAS Kali Bekasi. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan dalam penerbitan izin baru serta menata ulang status tanah yang masih berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) agar bisa dialihkan kembali menjadi ruang terbuka hijau.
“Jika tidak segera ditangani, banjir akan terus berulang, apalagi dengan adanya perubahan iklim,” ujarnya.
Solusi Jangka Panjang: Dari Hulu hingga Hilir
Puarman menekankan bahwa solusi untuk mengatasi banjir harus bersifat permanen, bukan sekadar bantuan darurat. Ia mengusulkan enam langkah yang dapat dilakukan:
Pentingnya Sinergi Antar Daerah
Karena DAS Kali Bekasi melintasi beberapa wilayah di Jawa Barat, koordinasi antar daerah menjadi tantangan tersendiri. Ketua Bidang Advokasi Publik Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Indonesia (IAP), Arif Gandapurnama, menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki framework yang jelas dalam mengelola tata ruang dan mitigasi banjir.
Sementara itu, Senior Data dan GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, menyoroti pentingnya pengelolaan sampah di daerah tengah sungai serta revitalisasi sungai di wilayah hilir. Tanpa solusi menyeluruh, bencana banjir Bekasi akan terus menjadi ancaman tahunan bagi warganya.
Banjir di Bekasi bukan sekadar fenomena alam, tetapi hasil dari tata ruang yang tidak terencana dengan baik. Tanpa tindakan konkret dari pemerintah dan koordinasi antar wilayah, ancaman ini akan terus berulang di masa depan.
Sumber: CNN Indonesia
Foto: BBC Indonesia